Rabu, April 29, 2009

 

Bedah Buku

Hadirilah Bedah Buku Untuk Umum
AMAR MA"RUF NAHI MUNKAR
Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
Karya Ustd Yazid Abdul Qodir Jawas hafizhohullah
Insya Allah pada Ahad,3 Mei 2009/7 Jumadil Ula 1430 H. Pukul 09.00-zuhur.
Masjid Jakarta Islamic Centre, Kramat KOJA-Jakarta Utara.

Label: ,


Read more!

Jumat, April 24, 2009

 

Seminar/Dauroh Bedah Buku khusus Akhwat

Seminar/Dauroh Bedah Buku khusus Akhwat
"Umat Islam Dikepung dari Segala Penjuru"
Oleh Ust. Dr. Musri Ali M.A. (Pimp. Ma'had Imam Syafi'i Jember, lulusan S-3 Univ Islam Madinah).
Gedung BPPT lt.3 jl. MH Thamrin Jakpus. 14 Mei 2009, 09.00-15.00
Infaq Rp. 35.000 (snack+makan siang). Gratis buku materi





Label: ,


Read more!
 

Kajian Ilmiyah Terbuka Untuk Umum

Kajian Ilmiyah Terbuka Untuk Umum.
"Wasiat Imam Syafi'i tentang taqlid buta, fanatisme madzhab", pemateri Ust Ibnu Saini hafizhohullah.
Ahad 26 April 2009, 09.00-11.30, Msjd Al Fauzien Gema Pesona Es, sukma jaya depok.




Label: ,


Read more!
 

FATWA MUI TENTANG SALAF/SALAFI

Alhamdulliah,

Buat ikhwan di Lippo Cikarang Fatwa MUI ini seperti Payung disaat Hujan deras, mengingat sudah hampir satu bulan kajian di sana diliburkan karena adanya tekanan (ancaman) untuk membubarkan kajian.


Buat ikhwan yang juga mengalami tekanan di lingkungan atau keluarganya, semoga ini dapat bermanfaat. Karena terkadang sebagian kaum muslimin yang belum mengenal manhaj salaf (seperti kaum tradisional yang biasanya mengandalkan hawanafsu bukan ilmu), selalu bertindak anarkis dan tidak bisa diajak dialog. Sehingga dibutuhkan sekali Fatwa seperti ini.


Buat Bloger Salafyyin supaya dimuat Fatwa ini di Blog antum, agar dapat menyebar luas.

Jazzakallah khairan,…





Label: ,


Read more!

Minggu, April 19, 2009

 

Benarkah Umar dan Hamzah Berdemonstrasi?

Sebuah Studi Riwayah dan Dirayah Hadits

Oleh : Syaikh al-Muhaddits ‘Alî Hasyîsy


Pada bahasan ini para pembaca akan disuguhi bahasan ilmiah tentang hadits kisah demonstrasi yang dipimpin Hamzah dan Umar rahimahullâhu, agar mengerti benar akan hakekat kisah yang mashur ini, dimana mereka yang gemar demostrasi menjadikan hadits ini sebagai dalil disyariatkan demonstrasi.

Pertama : Matan (teks) kisah

رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : “شَرَحَ اللهُ صَدْرِي لِلإِِسْلاَمِ، فَقُلْتُ: اللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ لَهُ اْلأَسْمَاءُ الْحُسْنَى، فَمَا فِي اْلأَرْضِ نَسَمَةٌ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَسَمَةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، قُلْتُ : أَيْنَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ؟ قَالَتْ أُخْتِي: هُوَ فِي دَارِ اْلأَرْقَم بْنِ أَبِي اْلأَرْقَم عِنْدَ الصَّفَا، فَأَتَيْتُ الدَّارَ وَحَمْزَةُ فِي أَصْحَابِهِ جُلُوْس فِي الدَّارِ، وَرَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْبَيْتِ، فَضَرَبْتُ الْبَابَ فَاسْتَجْمَعَ الْقَوْمُ جُلُوْسًا فِي الدَّارِ، وَرَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْبَيْتِ، فَضَرَبْتُ الْبَابَ فَاسْتَجْمَعَ الْقَوْمُ فَقَالَ لَهُمْ حَمْزَة : مَا لَكُمْ؟ قَالُوْا : عُمَرُ، قَالَ : فَخَرَجَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَخَذَ بِمَجَامع ثِيَابِهِ ثُمَّ نَثَرَهُ نَثْرَةً فَمَا تَمَالَكَ أَنْ وَقَعَ عَلَى رُكْبَتِهِ، فَقَالَ : “ماَ أَنْتَ بِمِنَّتِهِ يَا عُمَرُ؟”. فَقُلْتُ : أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، فَكَبَّرَ أَهْلُ الدَّارِ تَكْبِيْرَةً سَمِعَهَا أَهْلُ الْمَسْجِدِ. فَقُلْتُ : ياَ رَسُوْلَ اللهِ، أَلَسْنَا عَلَى الْحَقِّ إِنْ مِتْنَا وَإِنْ حَيَّيْنَا؟ قَالَ : “بَلَى، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ عَلَى الْحَقِّ إِنْ مِتُّمْ وَإِنْ حَيَّيْتُمْ”. فَقُلْتُ : فَفِيْمَ اْلاِخْتِفَاءُ؟ وَالَّذِي بَعَثَكَ باِلْحَقِّ لَنَخْرُجَنَّ فَأَخْرَجْنَا فِي صَفَّيْنِ حَمْزَة فِي أَحَدِهِمَا وَأَنَا فِي الآخِرِ لَنَا كَدِيْدٌ كَكَدِيْدِ الطَّحِيْنِ حَتىَّ دَخَلْنَا الْمَسْجِدَ، فَنَظَرَتْ إِليَّ قُرَيْشٌ وَإِلَى حَمْزَة فَأَصَابَتْهُمْ كَأْبَة لَمْ يُصِبْهُمْ مِثْلَهَا.
Diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata : “Allah melapangkan hatiku untuk memeluk agama Islam, lalu aku mengatakan : ”Allah, tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia, Dia memiliki al-Asmâ` al-Husnâ (nama-nama yang baik), tidak ada di bumi seseorang yang lebih aku cintai melebihi Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam”. Aku bertanya : “Dimana Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam?” Saudara perempuanku menjawab : “Dia berada di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam di as-Shofa”. Lalu aku mendatangi rumah itu, pada waktu itu Hamzah bin Abdul Muthalib duduk bersama para sahabat Nabi lainnya di lingkungan rumah, sedangkan Nabi berada di dalam rumah, lalu aku ketuk pintu rumah. Tatkala para sahabat Nabi mengetahui kedatanganku mereka pun datang bergerombol, lalu Hamzah bertanya kepada para sahabat Nabi : “Apa yang terjadi dengan kalian?” mereka menjawab : “Ada Umar bin Khattab”. Kemudian Umar melanjutkan ceritanya : “Lalu Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam datang, dan memegang baju Umar dan mendorongnya, maka Umar pun terjatuh di atas kedua lututnya, lalu Nabi bersabda : “Wahai Umar apa yang kamu inginkan.?” Lalu aku menjawab : “Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu baginya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya”. Mendengar hal ini para sahabat Nabi yang berkumpul bertakbir dengan takbir yang didengar orang-orang yang berada di Masjidil Haram. Aku pun berkata pada Nabi : “Bukankah kita berada di atas kebenaran baik kita mati atau hidup?” beliau Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam menjawab : “Benar, wahai Umar, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya kalian di atas kebenaran baik kalian mati atau hidup”. Aku menyahut : “Lalu mengapa kita bersembunyi, demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran kita akan keluar (terang-terangan menampakkan ke-Islaman)”. Lalu kamipun keluar dalam dua barisan, Hamzah pada salah satu barisan dan saya pada barisan lainnya. Hingga kami memasuki Masjidil Haram (Ka’bah). Maka orang-orang dari suku Quraisy melihat kepadaku dan kepada Hamzah, lalu merekapun bersedih hati dengan hal ini dengan kesedihan yang tidak pernah mereka alami sebelumnya.”


Kedua : Takhrij hadits

Kisah ini dinukil Abu Nu’aim dalam kitab “al-Hilyah (1-40)”, ia berkata : “Telah bercerita pada kami Muhammad bin Ahmad bin al-Hasan, telah bercerita pada kami Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah, telah bercerita pada kami Abdul Hamid bin Shalih, telah bercerita pada kami Muhammad bin Aban dari Ishâq bin Abdullâh dari Aban bin Shalih dari Mujahid dari Ibnu Abbas dari Umar bin al-Khattab.

Aku berkata : “Dengan sanad inilah Abu Nuaim mencantumkan dalam kitab “ad-Dalâ`il” hal. 194.


Ketiga : Tahqiq (verifikasi)

Kisah ini adalah kisah tidak benar, di dalamnya terdapat perawi yang tidak bisa diterima periwayatannya (cacat) yaitu : “Ishâq bin Abdullâh”.

1. Al-Imam al-Mizzi menyebutkan namanya dalam kitab “Tahdzîbul Kamâl” (2-57-362) dan ia berkata : “Ishâq bin ‘Abdullâh bin Abi Farwah meriwayatkan dari Abân bin Shâlih dst”.

2. Al-Imam an-Nasâ`î berkata dalam kitab “Ad-Dhu`afâ’ wal Matrûkîn” tentang riwayat hidup perawi ke (50) : “Perawi ini tidak diambil periwayatan haditsnya”. Komentar saya : “Ini adalah istilah al-Imam an-Nasâ`î, makna istilahnya itu adalah sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar dalam kitab “Syarh an-Nukhbah” hal (69) : “Madzhab/metode an-Nasâ`î adalah ia tidak meninggalkan hadits (tidak mengambilnya) sampai benar-benar para ulama bersepakat untuk tidak diambil (hadits tersebut)”.

3. Al-Imam al-Bukhârî berkata dalam kitab “Ad-Dhu`afâ’ al-Kabîr” tentang riwayat hidup perawi ke (20) : “Ishâq bin ‘Abdullâh bin Abi Farwah, para ulama hadits meninggalkannya”.

4. Al-Imam ad-Dâraquthnî berkata dalam kitab “Ad-Dhu`afâ’ wal Matrûkîn” nomor (94) : “Ia perawi yang tidak diambil haditsnya”.

5. ‘Alî bin al-Hasan al-Hasnajânî berkata dari Yahyâ dia berkata : “Ia (Ishâq bin ‘Abdullâh) pendusta”. Demikianlah disebutkan dalam kitab “Tahdzîbul Kamâl” (2-61)

6. Ibnu Hibbân berkata dalam kitab “al-Majrûhîn” (1-131) : “Ia sering membalikkan riwayat hadits dan sering menjadikan riwayat yang mursal (dari tabi’in) menjadi marfû’ (sampai kepada Nabi) dan Ahmad bin Hanbal melarang dari mengambil haditsnya”.

7. Ibnu Abî Hâtim berkata dalam kitab “al-Jarh wat Ta’dîl” (2-228) nomor (792) : “Saya mendengar ayahku berkata : “Ishâq bin ‘Abdullâh bin Abi Farwah adalah perawi yang haditsnya tidak diambil”. Kemudian Ibnu Abî Hâtim menyebutkan dengan sanadnya dari Yahyâ bin Ma’în, ia berkata : “Ishâq bin Abi Farwah adalah pendusta’. Dan dengan sanad lainnya dari Yahyâ, bahwasanya ia berkata : “Ishâq bin Abi Farwah adalah pembohong besar. Kemudian Ibnu Abî Hâtim berkata : Saya mendengar Abû Zur’ah berkata : “Ishâq bin ‘Abdullâh bin Abi Farwah adalah seorang perawi yang haditsnya tidak diambil”. Kemudian Ibnu Abî Hâtim menyebutkan dengan sanadnya sampai kepada ‘Amrû bin ‘Alî asy-Syirâfî, bahwasanya ia menceritakan bahwa Ishâq bin ‘Abdullâh bin Abi Farwah adalah perawi yang tidak diambil haditsnya”.

8. Saya (Syaikh Hasyîsy) berkata : “Ibnu ‘Adî telah menjelaskan hal ini (pendapat para ulama hadits tentang tidak diambilnya riwayat Ishâq bin ‘Abdullâh bin Abi Farwah dalam kitab “al-Kâmil” (1-326) (154-154) dalam biografi yang mencapai lebih dari 80 baris, ia menutupnya dengan ucapan : “Dan Ishâq bin Abi Farwah ini saya tidak menyebutkan hadits-haditsnya dalam kitab ini dengan sanad-sanad yang telah aku sebutkan, karena tidak seorangpun menukil sanad-sanadnya dan tidak pula matannya, dan seluruh hadits-haditsnya yang tidak aku sebutkan menyerupai berita-berita yang aku sebutkannya, dan ia telah menerangkannya dalam kitab “ad-Dhuafâ`”.

Komentar saya :

Dengan penjelasan ini telah jelas hal-hal berikuti ini :

1. Bahwa metode an-Nasâ`î adalah tidak meninggalkan hadits seorang perawi sampai sepakat para ulama untuk meninggalkannya.

2. Jelaslah hakekat riwayat Ishâq bin ‘Abdullâh bin Abi Farwah, tidak ada dari kalangan ulama yang mengambil sanad dan matan hadits darinya.

3. Berdasarkan hal ini, maka kisah di atas tidak berdasar, dan sanad hadits ini cacat, dan riwayat ini palsu.


Keempat : Hal-hal yang mendukung akan tidak benarnya riwayat kisah ini

1. Al-Imam al-Bukhârî telah membuat bab dalam Shahîh-nya kitab “Manâqib al-Anshâr” bab nomor 35 : “Islamnya Umar bin Khattab Radhiyallâhu ‘anhu“, dan ia menyebutkan di dalamnya hadits ke 3865 dari hadits Abdullâh bin Umar Radhiyallâhu ‘anhumâ ia berkata :

لَمَّا أَسْلَمَ عُمَرُ، اجْتَمَعَ النَّاسُ عِنْدَ دَارِهِ وَقاَلُوْا : صَبَأَ عُمَرُ- وَأَنَا غُلاَمٌ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِي- فَجَاءَ رَجُلٌ عَلَيْهِ قُبَاء مِنْ دِيْبَاج، فَقَالَ: قَدْ صَبَأَ عُمَرُ، فَمَا ذَاكَ فَأَنَا لَهُ جَارٌ؟. قَالَ: فَرَأَيْتُ النَّاسَ تَصَدَّعُوْا عَنْهُ، فَقُلْتُ: مَنْ هَذَا؟ فَقَالُوْا: العَاصُ بْنُ وَائِل

“Tatkala Umar bin Khattâb masuk Islam, orang-orang berkumpul di rumahnya, dan berkata : “Umar telah menjadi pengikut agama Shobi`î – dan pada waktu itu saya masih kecil, saya berada di atap rumah – lalu datanglah seorang laki-laki memiliki sapu tangan besar terbuat dari sutera, dan berkata : “Tidak mengapa Umar memeluk agama Shobi`i (ia tidak akan dibunuh atau dihalangi), dan saya melindunginya dari orang yang berbuat zalim terhadapnya)”. Ibnu Umar berkata : (setelah mendengar ucapan tokoh Quraisy itu) aku melihat orang-orang bubar”. lalu aku pun bertanya : “Siapa orang itu?” mereka menjawab : “Al-‘Ash bin Wail (tokoh Quraisy)”.

2. Al-Hâfizh Ibnu Katsîr menyebutkan dalam kitab “al-Bidâyah wan Nihâyah”(3-81) tentang Islamnya ‘Umar bin Khaththâb : Ibnu Ishâq berkata : “Nâfi’ hamba sahaya Ibnu ‘Umar telah bercerita padaku dari Ibnu Umar, ia berkata :

لَمَّا أَسْلَمَ عُمَرُ قَالَ: أَيُّ قُرَيْشٍ أَنْقَلُ لِلْحَدِيْثِ؟ فَقِيْلَ لَهُ : جَمِيْل بْنُ مَعْمَرٍ الجُمَحِي. فَغَدَا عَلَيْهِ. قَالَ عَبْدُ اللهِ : وَغَدَوْتُ أَتْبَعُ أَثَرَهُ، وَأَنْظُرُ مَا يَفْعَلُ وَأَنَا غُلاَم أَعْقَلَ كُلَّ مَا رَأَيْتُ، حَتىَّ جَاءَهُ فَقَالَ لَهُ : أَعْلَمْتُ ياَ جَمِيْل أَنِّي أَسْلَمْتُ وَدَخَلْتُ فِي دِيْنِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم ؟ قاَلَ : فَوَاللهِ، مَا رَاجَعَهُ حَتىَّ قَامَ يُجِرُّ رِدَاءَهُ، وَاتَّبَعَهُ عُمَرُ، وَاتَّبَعْتُهُ أَنَا، حَتَّى إِذَا قَامَ عَلىَ بَابِ الْمَسْجِدِ صَرَخَ بِأَعْلَى صَوْتِهِ: يَا مَعْشَر قُرَيْشٍ، وَهُمْ فِي أَنْدِيَتِهِمْ حَوْلَ الْكَعْبَةِ، أَلاَ إِنَّ ابْنَ الْخَطَّابِ قَدْ صَبَأَ. قَالَ : يَقُوْلُ عُمَرُ مِنْ خَلْفِهِ: كَذَب، وَلَكِنِّي قَدْ أَسْلَمْتُ، وَشَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَثاَرُوْا إِلَيْهِ فَمَا بَرِحَ يُقَاتِلُهُمْ وَيُقَاتِلُوْنَهُ حَتىَّ قَامَتِ الشَّمْسُ عَلَى رُؤُوْسِهِمْ. قاَلَ: وَطَلَحَ فَقَعَدَ، وَقَامُوْا عَلَى رَأْسِهِ وَهُوَ يَقُوْلُ : افْعَلُوْا مَا بَدَا لَكُمْ، فَأَحْلَفَ بِاللهِ أَنْ لَوْ قَدْ كُنَّا ثَلاَثُمِائَة رَجُلٍ لَقَدْ تَرَكْنَاهَا لَكُمْ، أَوْ تَرَكْتُمُوْهَا لَنَا. قاَلَ: فَبَيْنَمَا هُمْ عَلَى ذَلِكَ؛ إِذْ أَقْبَلَ شَيْخٌ مِنْ قُرَيْشٍ عَلَيْهِ حُلَّة حَبَرَة وَقَمِيْصُ مُوْشَى، حَتَّى وَقَفَ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ: مَا شَأْنُكُمْ؟ فَقَالُوْا: صَبَأَ عُمَرُ. قَالَ: فَمَه؛ رَجُلٌ اخْتَارَ لِنَفْسِهِ أَمْرًا، فَمَاذَا تُرِيْدُوْنَ؟ أَتَرْوْنَ بَنِي عَدِي يُسْلِمُوْنَ لَكُمْ صَاحِبَكُمْ هَكَذَا؟ خَلُّوْا عَنِ الرَّجُلِ. قَالَ: فَوَاللهِ، لَكَأَنَّمَا كَانُوْا ثَوْبًا كُشِطَ عَنْهُ. قَالَ : فَقُلْتُ لأَبِي بَعْدَ أَنْ هَاجَرَ إِلَى الْمَدِيْنَةِ: يَا أَبَتِ، مَنِ الرَّجُلِ الَّذِي زَجَرَ الْقَوْمَ عَنْكَ بِمَكَّةَ يَوْم أَسْلَمْتَ وَهُمْ يُقَاتِلُوْنَكَ؟ قَالَ : ذَاكَ أَيْ بُنَيَّ، العَاصُ بْنُ وَائِل السهمي.

“Tatkala Umar masuk Islam, ia berkata : “Siapa dari kalangan suku Quraisy yang cepat dalam menyampaikan berita?” Lalu dikatakan padanya : “Jamil bin Ma’mar al-Jumahi”. Lalu ia pergi menemuinya. Abdullâh bin Umar berkata : “Akupun ikut pergi mengikuti ayahku, untuk melihat apa yang akan ia lakukan dan aku adalah seorang anak (kecil) yang memahami apa saja yang aku lihat, hingga sampailah Umar ke tempat Jamil bin Ma’mar al-Jumahi, maka ia berkata padanya : “Aku memberitahukan padamu wahai Jamil, bahwa aku masuk Islam dan memeluk agama Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam. Abdullâh bin Umar berkata : “Demi Allah, Jamil pun segera menyingsingkan selendangnya berangkat menuju masjid dan Umar mengikutinya, akupun mengikutinya, hingga tatkala Jamil sampai di pintu masjid ia berteriak dengan teriakan lantang : “Wahai kaum Quraisy, pada saat itu kaum Quraisy sedang duduk-duduk dalam majelis mereka disekitar Ka’bah, ketauhilah bahwa Umar bin Khattab telah memeluk agama Shobi-i.

Abdullâh bin Umar melanjutkan ceritanya : “Saat itu pula Umar menyahut dari belakang Jamil : “Jamil telah berdusta”, aku tidak memeluk agama Shobi-i tapi aku telah memeluk agama Islam”. Dan Umar pun mengucapkan syahadat laa ilaa ha illallah wa anna muhammadan Rasûlullâh, maka segeralah orang-orang Quraisy menganiaya Umar dan Umar melawan mereka hingga siang hari. Abdullâh bin Umar berkata : “Umar pun kecapekan lalu duduk, dan orang-orang Quraisy mengerumuninya sedang Umar berkata : “Lakukanlah apa saja, aku bersumpah demi Allah kalau kami berjumlah tiga ratus orang laki-laki, kami pasti akan melawan, kami menang atau kalian yang menang (sekarang saya sendirian tidak dapat berbuat apa-apa, pent)”.

Abdullâh bin Umar berkata : “Di saat suasana seperti itu, tiba-tiba datang seorang tokoh Quraisy berpakaian bagus berdiri dihadapan mereka, lalu berkata : “Ada apa dengannya?” Mereka menjawab : “Umar bin Khattab telah memeluk agama Shobi-i”. Ia pun berkata : “Seseorang bebas memilih urusannya sendiri, lalu apa yang kalian inginkan? Apakah kalian mengira bahwa Bani Adi (suku Umar bin Khattab) akan membiarkan tindakan kalian ini? Tinggalkanlah laki-laki ini”. Abdullâh bin Umar melanjutkan : “Demi Allah, setelah mendengar ucapan tokoh Quraisy itu seolah-olah mereka adalah pakaian yang dilipat olehnya. Abdullâh bin Umar berkata : “Maka akupun bertanya kepada ayahku setelah hijrah ke Madinah : “Wahai ayah, siapakah laki-laki yang membubarkan orang-orang darimu di Makkah pada hari engkau masuk Islam dimana mereka ingin membunuhmu?” Umar menjawab : “Wahai anakku, itu adalah al-Ash bin Wail as-Sahmi”.

Riwayat ini sanadnya kuat, dan kisah ini menunjukkan bahwa Umar bin Khattab bukan kalangan sahabat yang masuk Islam pertama kali. Karena ketika Ibnu Umar mengajukan diri untuk ikut perang Uhud, saat itu usianya 14 tahun, dan perang Uhud terjadi pada tahun 3 hijriyah, sedangkan saat ayahnya masuk Islam Ibnu Umar adalah anak kecil yang baligh. Maka masuk Islamnya Umar adalah sekitar 4 tahun sebelum hijrah, yang demikian itu 9 tahun setelah kenabian. Wallahu ‘alam.

Komentar saya : “al-Hâfizh Ibnu Katsîr juga mengutip kisah ini dalam kitab “as-Sîroh an-Nabawiyyah” menukil dari Ibnu Ishâq lalu menyebutkan tahqiq ini. Demikian pula, Ibnu Hisyam menjelaskan dalam kitab “as-Sîrah an-Nabawiyyah” (1-437) (334) juga menukil dari Ibnu Ishâq, demikian pula Ibnu al-Atsîr menyebutkan dalam kitab “Asad al-Ghâbah” (4-150) menukil dari Ibnu Ishâq, lalu al-Hâkim menyebutkan dalam kitabnya (3/85) dari jalan Ibnu Ishâq, dan ia berkata : “Riwayat ini Shahîh dengan syarat Muslim”. Dan adz-Dzahabî menyepakatinya sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas, dan Ibnu Katsîr berkata : “Dan sanad riwayat ini adalah kuat”.

Komentar saya : “Sanad riwayat ini bertambah kuat, dengan pencantuman riwayat ini oleh al-Bukhârî (3864) dari jalan lain dari Zaid bin Abdullâh bin Umar dari ayahnya, ia berkata : “Ketika Umar di rumah dalam keadaan takut ….” Hadits dengan lafadnya sebagaimana di atas.


Kelima : Sabar dan tegar saat terjadi kesulitan dan bukannya malah demonstrasi

Diriwayatkan oleh Bukhârî dalam Shahîh Bukhârî (hadits ke 3852) dari hadits Khobâb bin al-Arat, ia berkata : “Saya pernah menemui Nabi, saat itu beliau mengenakan selimut di Ka’bah – dan saat itu kami mendapatkan gangguan yang sangat dari kaum musyrikin- lalu aku berkata : “Wahai Rasûlullâh, tidakkah engkau mendoakan kami kemenangan?” lalu beliau duduk dan wajahnya memerah, lalu berkata : “Sungguh orang-orang yang beriman sebelum kalian ada yang disiksa dengan sisir besi hingga terkelupas kulit dan dagingnya dari tulang, namun siksaan itu tidak membuat mereka murtad. Dan ada juga yang digergaji dari kepala hingga terbelah menjadi dua, namun hal ini tidak membuat mereka murtad. “Sungguh Allah akan menyempurnakan urusan ini, hingga seorang pengendara tidak merasakan takut kecuali takut kepada Allah tatkala melakukan perjalanan dari Shan’a ke Hadramaut”.

Komentar saya : Imam Bukhârî juga menyebutkan hadits ini pada nomor 3612 dari hadits Khobab, Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

وَاللهِ ليَتِمَّن هَذَا الأَمْرُ حَتَّى يَسِيْرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاء إِلَى حَضَرَمَوْت لاَ يَخَافُ إِلاَّ الله أَوْ الذِّئْب عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُوْنَ

“Demi Allah, sungguh Allah akan menyempurnakan urusan ini hingga seorang pengendara dari Shan’a ke Hadramaut tidak merasakan ketakutan dalam perjalanannya kecuali hanya takut kepada Allah atau seperti ketakutan seseorang atas kambingnya dari serigala, akan tetapi kalian terburu-buru”.

Komentar saya : “Hadits ini menerangkan kepada kita bagaimana pendidikan Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam kepada para sahabatnya tatkala tertimpa musibah berat yaitu bersabar, kokoh dan yakin akan janji Allah dan tidak terburu-buru ingin sukses, dalam rangka mengamalkan firman Allah ta’ala :

“Dan Bersabarlah kamu, Sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.” (QS. Ar-Rum : 60)

“Maka Bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul Telah bersabar”. (QS. Al-Ahqaf : 35)


Keenam : Berdoa ketika tertimpa kesulitan dan bukannya malah Demonstrasi

Pertama, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam berdoa ketika dilempari kotoran.

Imam Bukhârî menyebutkan hadits nomor 3854 dalam kitabnya “Shahîh Bukhârî” dari Abdullâh bin Mas’ud Radhiyallâhu ‘anhu, ia berkata :

بَيْنَا النَّبِي صلى الله عليه وسلم سَاجِدًا وَحَوْلَهُ نَاسٌ مِنْ قُرَيْشٍ، جَاءَ عُقْبَةُ بْنُ أَبِي مُعِيْط بسلى جَزُوْر فَقَذَفَهُ عَلَى ظَهْرِ النَّبِي صلى الله عليه وسلم فَلَمْ يَرْفَعْ رَأْسَهُ، فَجَاءَتْ فَاطِمَة عَلَيْهَا السَّلاَمُ فَأَخَذَتْهُ مِنْ ظَهْرِهِ وَدَعَتْ عَلَى مَنْ صَنَعَ، فَقَالَ النَّبِي صلى الله عليه وسلم : اللَّهُمَّ عَلَيْكَ الْمَلأ مِنْ قُرَيْشٍ، أَبَا جَهْلِ بْنِ هِشَام، وَعُتْبَة بْنُ أَبِي رَبِيْعَة، وَشَيْبَة بْنُ رَبِيْعَة، وَأُمَيَّة بْنُ خَلَف، فَرَأَيْتُهُمْ قَتْلَى يَوْم أُحُدٍ فَأُلْقُوْا فِي بِئْرٍ غَيْر أُمَيَّة بْنِ خَلَف تَقَطَّعَتْ أَوْصَالُهُ فَلَمْ يُلْقَى فِى الْبِئْرِ

“Ketika Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam sujud dan disekitarnya ada orang-orang Quraisy, datang Uqbah bin Abi Muith membawa sekeranjang kotoran kambing lalu melemparkannya ke atas punggung Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam. Namun beliau tidak mengangkat kepalanya dari sujud, hingga datanglah Fâtimah ‘alaihassalam membersihkan kotoran itu dari punggung beliau, kemudian ia mendoakan keburukan pada orang yang melakukannya. Maka Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam berdo’a : “Ya Allah, Engkaulah yang membalas perbuatan orang-orang Quraisy, yaitu Abu Jahl bin Hisyam, Utbah bin Abi Rabi’ah, dan Syaibah bin Rabi’ah, dan Umayyah bin Khalaf. Saya melihat merekapun terbunuh pada hari uhud, lalu mereka dilempar di sumur, selain Umayyah bin Khalaf yang jasadnya terputus-putus, ia tidak dilempar di sumur.

Kedua, Nabi berdoa (qunut naazilah /kutukan) kemudian beliau tinggalkan.

رَعْل وذَكْوَان وَلِحْيَان وعُصَيَّة عَصَتِ اللهَ

“Suku Ra’lun, Dzakwan, Lihyan dan Ushaiyyah telah mendurhakai Allah”.

Anas bin Malik berkata : “Ayat di atas adalah ayat yang Allah turunkan kepada mereka yang terbunuh di sumur Maunah[1], kami membacanya hingga ayat itu mansukh/dihapus setelah ayat :

بَلِّغُوْا قَوْمَنَا أَنْ قَدْ لَقِيْنَا رَبَّنَا فَرِضِيَ عَنَّا وَرَضِيْنَا عَنْهُ.

“Sampaikanlah kepada kaum kami (kaum muslimin), kami telah bertemu dengan Rabb kami, dan Dia ridha terhadap kami, dan kami pun ridha terhadap-Nya”.[2]


Ketujuh : Seruan jihad bukanlah Demonstrasi

Imam Bukhârî menyebutkan dalam “Shahîh Bukhârî” hadits nomor 3077, demikian pula Muslim dalam hadits nomor 1353 dari hadits Ibnu Abbas, ia berkata : Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda pada hari penaklukkan kota Makkah :

لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوْا

“Tidak ada hijrah lagi setelah ditaklukkannya kota Makkah, akan tetapi yang ada adalah jihad dan niat, dan jika kalian diperintah berjihad (oleh Ulil Amri) maka pergilah”.

Allah ta’ala berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal kenikmatan hidup di dunia Ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.” (QS. At-Taubah : 38)

“Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. At-Taubah : 39)

Komentar saya : “Ini adalah sunnah di saat tertimpa musibah yang berat, yaitu : sabar, tegar dan yakin serta tidak tergesa-gesa, khususnya dalam kondisi lemah. Kemudian menyeru kepada jihad dalam kondisi umat sudah memiliki kekuatan dan selalu berdo’a pada setiap keadaan.

Adapun demonstrasi tidak lain hanyalah gemuruh hiruk pikuk suara saja.

Sekian makalah ini, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam.

Ini semua adalah petunjuk Allah, dan Dia lebih mengetahui apa yang ada dalam hati kita.

(Sumber : Situs Majalah at-Tauhid, Anshârus Sunnah al-Muhammadiyah Mesir)

[1] 70 orang ahli Qur’an dari sahabat Nabi terbunuh oleh kabilah Ra’lun, Dzakwan, dan Ushaiyyah karena dikhianati.

[2] Di dalam shahih Bukhari dari Anas :

دَعَا النَِّبيُّ عَلَى الَّذِيْنَ قَتَلُوْا أَصْحَابَهُ بِبِئْرِ مَعُوْنَة ثَلاَثِيْنَ صَبَاحًا، يَدْعُو فِي صَلاَةِ الْفَجْرِ عَلَى رَعْل وَذَكْوَان وَلِحْيَان وَعُصَيَّة، وَيَقُوْلُ : عُصَيَّة عَصَتِ اللهَ، فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالىَ عَلَى نَبِيِّهِ قُرْآنًا قَرَأْنَاهُ حَتَّى نُسِخَ بَعْدَ : بَلِّغُوْا قَوْمَنَا أَنَّا لَقِيْنَا رَبَّنَا فَرَضِيَ عَنَّا وَرَضِيْنَا عَنْهُ، فَتَرَكَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُنُوْتَهُ.

“Nabi berdoa qunut (kebinasaan) kepada mereka yang membunuh para sahabat beliau di sumur Ma’unah” selama tiga puluh hari. Beliau berdoa qunut (mendoakan kejelekan) tatkala shalat subuh atas suku Ra’lu, Dzakwan, Lihyan dan Ushaiyyah, beliau mengatakan : “Ushaiyyah telah durhaka kepada Allah”. Maka Allah turunkan kalimat itu sebagai ayat al-Qur’an kepada nabi-Nya, dan kami baca ayat itu hingga manshukh (dihapus), setelah ayat : “Sampaikanlah kepada kaum kami, bahwa kami telah bertemu Rabb kami, maka Dia meridhai kami dan kami pun ridha pada-Nya”, lalu Nabi tinggalkan doa jeleknya itu (setelah turun ayat yang melarang). (HR Bukhari 586)

from → Aqidah & Manhaj, Bantahan, Hadits

Label: , , ,


Read more!

Jumat, April 17, 2009

 

IMAM HUSEIN DI HATI KAMI

IMAM HUSEIN DI HATI KAMI

Pertanyaan: Saya adalah seorang penganut Syi’ah, saya ingin bertanya bagaimana pandangan Ahlussunnah tentang Imam Husein?

Jawaban:

Yang Ahlussunnah ketahui tentang Imam Husein, bahwa beliau adalah cucu Nabi dan belahan jiwanya, juga yang paling mirip wajahnya dengan Nabi. Beliau sering mencium cucunya yang satu ini. Imam Husein dan saudaranya Imam Hasan, adalah penghulu pemuda penghuni sorga. Mereka berdua adalah anak dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Tolib, orang yang mencintai dan dicintai Allah dan RasulNya. Ali adalah seorang yang harus dicintai oleh setiap mereka yang mengaku beriman. Ahlussunnah menganggap bahwa mencintai Ali adalah bagian dari iman, dan sebaliknya, membenci dan memusuhi Ali adalah bagian dari kemunafikan, salah satu sifat tercela yang harus dijauhi. Imam Husein adalah anak dari penghulu wanita penghuni sorga, belahan hati Rasulullah, Fatimah Azzahra, juga termasuk Ahlul Bait yang dibersihkan oleh Allah sebersih-bersihnya. Nabi berwasiat pada kita supaya menjaga Ahlul Bait ketika berkhotbah siang hari di tengah terik matahari Ghadir Khum : “Aku ingatkan kalian atas Ahlul Baitku”. Imam Husein adalah penghulu Ahlussunnah, dan cucu Nabi kami, Ahlussunnah mencintai Imam Husein dan yakin bahwa cinta padanya adalah ikatan tali iman.

Mencintai Imam Husein termasuk amal terbaik yang dapat dipersembahkan oleh orang beriman pada Allah, dalam rangka melaksanakan sabda Nabi : “seseorang akan bersama dengan yang dicintainya”. Barang siapa mencintai Imam Husein berarti dia telah mencintai Nabi dan sebaliknya, yang membenci Imam Husein berarti telah membenci Nabi. Kami Ahlussunnah beranggapan mengenai Imam Husein sama seperti anggapan Umar bin Khottob tentang beliau : “siapa yang menumbuhkan rambut di kepala kami kalau bukan Allah lalu kalian wahai Ahlul Bait?”

Kami Ahlussunnah meyakini bahwa Imam Husein telah mati dibunuh musuh-musuh yang menzaliminya, kami berlepas diri dari seluruh orang celaka yang telah membunuhnya atau bantu-membantu dalam membunuh Imam Husein, atau mereka yang ridho atas kezaliman yang menimpanya. Kami meyakini bahwa kezaliman yang menimpa Imam Husein adalah curahan karunia dari Allah pada beliau, untuk meninggikan derajatnya, memuliakan pangkatnya, seperti sabda kakeknya : “para Nabi adalah orang yang paling berat ujiannya, lalu orang yang terbaik di setelah mereka dan seterusnya”. Dengan perantaraan ujian yang berat ini Allah mengaruniakan padanya pangkat mulia sebagai seorang syahid. Dengan ujian ini Allah mengangkatnya ke derajat para pendahulu ahlul bait yang sabar ditimpa cobaan di masa awal Islam, begitulah, Imam Husein juga bersabar dalam menghadapi ujian berat yang menimpa dirinya, sehingga Allah menyempurnakan nikmatnya dengan karunia syahadah. Perlu diketahui, bahwa karunia sebagai syahid tidak pernah diberikan kecuali pada orang yang sabar dalam menghadapi cobaan, ternyata Imam Husein termasuk mereka yang layak mendapatkannya. Kami yakin, sejak itu, kaum muslimin tidak pernah ditimpa musibah lebih besar dari syahidnya Imam Husein.

Setiap kami mengingat musibah itu, kami selalu mengucapkan perkataan yang diajarkan oleh Fatimah binti Husein, yang ikut hadir saat ayahnya syahid, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Rasulullah, bahwa beliau bersabda : “barang siapa ditimpa musibah dan ingat akan musibah itu, lalu ber istirja’ (mengucapkan Inna lillahi...dst) maka Allah akan memberinya pahala sama seperti pahala musibah itu ketika menimpanya walaupun musibah itu sudah lama terjadi.” Maka kami mengucapkan “Inna lillahi wa inna ilaihi Roji’un”, karena kami ingin mendapat berita gembira dari Allah : “berilah kabar gembira bagi orang-orang yang bersabar, yaitu mereka yang mengatakan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un ketika ditimpa musibah. Mereka akan mendapat pujian dan rahmat dari Allah, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.”

Walaupun kami mencintai Imam Husein, tapi kami tidak akan melanggar batas yang telah ditetapkan oleh kakeknya, Rasulullah, yang telah bersabda : “ janganlah kalian berlebihan dalam memujiku seperti kaum nasrani berlebihan dalam memuji Isa bin Maryam, tapi cukup katakanlah : Muhammad adalah Hamba Allah dan RasulNya”

Ahlussunnah tidak berdoa dan meminta pertolongan pada Imam Husein dengan alasan menghormatinya [1] , karena Allah melarang kami berbuat demikian. Ahlussunnah tidak memperlakukan Nabi dan Ahlulbaitnya seperti memperlakukan Allah, sebagaimana kaum Nasrani menyekutukan Allah dengan Isa dan Maryam yang akhirnya menjadikan mereka berdua sebagai tuhan selain Allah. Ahlussunnah beranggapan bahwa Ahlul Bait tidak memiliki posisi dan kewenangan yang hanya dimiliki para Nabi, seperti kemaksuman dan kewenangan membuat syareat baru, yang hanya dimiliki oleh para Nabi sebagai penyampai Risalah Allah. Ahlussunnah meyakini bahwa Ahlul Bait adalah pengikut Nabi yang terbaik dan penyampai dakwah Nabi Muhammad, kita semua mengetahui bahwa Ahlul Bait adalah manusia biasa, tapi mereka adalah manusia-manusia terbaik. Namun ahlul bait tidak pernah merasa bahwa menjadi kerabat Nabi adalah jaminan keselamatan di akherat, seperti anggapan sebagian orang yang mengaku keturunan Nabi saat ini. Ahlul Bait adalah mereka yang paling keras membela Islam dan paling depan dalam melaksanakan ajaran Islam, seperti dijelaskan Imam Ali Zainal Abidin : Aku berharap Allah akan memberi pahala dua kali lipat bagi ahlul bait yang berbuat baik, namun takut Allah akan memberi dosa dua kali lipat bagi ahlul bait yang berbuat dosa.

Ahlussunnah tidak melanggar perintah kakek Imam Husein, Rasulullah, yang melarang ummatnya meratap, memukul badan dan menobek pakaian ketika ditimpa musibah [2] . Rasulullah menerangkan bahwa perbuatan itu termasuk perbuatan jahiliyah. Bahkan Hamzah, paman Nabi, telah dibunuh dan dirusak mayatnya, Nabi pun bersedih, beliau tidak pernah ditimpa musibah seberat ketika pamannya dibunuh dan dirusak mayatnya di perang uhud. Namun tidak pernah menjadikan hari terbunuhnya Hamzah sebagai hari duka cita yang penuh dengan tangis ratapan. Begitu juga Ali, tidak pernah berbuat demikian saat memperingati wafatnya Nabi, juga Imam Hasan dan Imam Husein tidak pernah mengadakan acara duka cita dan ratapan pada hari peringatan wafatnya Ali. Maka Ahlussunnah tidak menjadikan hari peringatan wafatnya Imam Husein sebagai hari duka cita, kami meniru hal itu dari petunjuk Nabi yang diikuti oleh Ali dan kedua puteranya, Hasan dan Husein.

Hari Asyura adalah hari di mana Allah menyelamatkan Nabi Musa dari ancaman dan kejaran Fir’aun, Rasulullah berpuasa pada hari itu sebagai ungkapan syukur pada Allah, Ahlussunnah berpuasa pada hari itu mencontoh Nabi yang telah berpuasa pada hari itu. Pada hari itu cucu Rasulullah jatuh syahid menemui Allah, menyusul kakek, ayah, ibu dan kakaknya. Kami bersabar dan mengharap pahala Allah atas kesedihan kami terhadap musibah itu. Pada hari itu Ahlussunnah melaksanakan dua amalan besar, yaitu bersyukur atas selamatnya Nabi Musa dan bersabar atas musibah yang menimpa, yaitu syahidnya Imam Husein. Sama dengan tanggal 17 Ramadhan, Ahlussunnah bersyukur memperingati kemenangan Nabi dan para sahabatnya di perang Badar, sekaligus bersedih memperingati syahidnya Ali bin Abi Thalib. Juga hari Senin, dimana pada hari itu Nabi Muhammad lahir dan wafat. Kami berpuasa sebagai ungkapan rasa syukur atas selamatnya Nabi Musa, kami juga bersedih dan bersabar, serta tak lupa mengucapkan istirja’ Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun atas musibah syahidnya cucu baginda Nabi, Imam Husein, dengan hati yang penuh pengharapan, kiranya dapat masuk ke golongan mereka yang diberi kabar gembira.

Saudara penanya, firasat saya mengatakan, bahwa dengan mengajukan pertanyaan ini, anda sedang mencari kebenaran karena desakan rasa ingin tahu yang ada dalam hati anda. Anda hendaknya sudi mencontoh Imam Ali, yang meskipun sedang berusia muda, tapi berani mengambil sikap tegas dan meninggalkan ajaran kaumnya, masuk dalam agama Islam yang turun pada Nabi Muhammad, walaupun ketika itu pengikut Nabi baru sedikit, lagi lemah dan tertindas. Seluruh kehidupan Imam Ali menjadi teladan bagi kita agar selalu mengikuti dan mempertahankan kebenaran walaupun dengan harga yang amat mahal.

Ketahuilah wahai saudaraku, umur yang kita punya sungguh amat pendek untuk habis tenggelam dalam bahtera keraguan. Waktu yang ada sungguh sempit untuk habis karena ikut pada kesesatan. Mari kita mencari kebenaran sekuat tenaga, bersimpuh kepada Allah memanjatkan doa munajat, agar berkenan memberikan pada kita petunjuk jalan yang benar, mengilhamkan kepada kita semua hidayah ketika manusia berselisih pendapat, membimbing kita semua menuju ridhoNya, membimbing kita ke jalan yang lurus, jalan mereka yang telah diberi nikmat oleh Allah, jalan para Nabi, Shiddiqin, Syuhada dan Sholihin. Kita harus mengerti dan sadar, jika bukan karena rahmat dan hidayah Allah yang tercurah pada kita, kita akan terus berkubang dalam kesesatan dan kebingungan. Ya Allah, dengan kecintaan kami pada NabiMu dan Ahlul Bait, kami memohon padaMu, kiranya Engkau sudi membimbing kami ke jalan NabiMu dan Ahlul Bait, menuntun kami agar dapat bersama mereka kelak di akherat, memberi hidayah agar kami dapat mengikuti jalan mereka. Amin.

Dr. Abdul Wahhab Al Turairi

[1] Ahlussunnah tidak mengatakan: Ya Husein… adrikni, atau Ya Sohibazzaman… Adrikni

[2] Syi’ah memperingati Syahidnya Imam Husein dengan memukul badan, baik dengan tangan kosong maupun dengan senjata tajam, merobek pakaian dan meratap-ratap.

Label: , , ,


Read more!

Selasa, April 14, 2009

 

Keutamaan Ilmu Syar'i Dan Mempelajarinya : Ilmu Adalah Jalan Menuju Kebahagiaan

KEUTAMAAN ILMU SYAR’I DAN MEMPELAJARINYA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Allah Ta’ala telah memuji ilmu dan pemiliknya serta mendorong hamba-hamba-Nya untuk berilmu dan membekali diri dengannya. Demikian pula Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang suci.

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (wafat th. 751 H) rahimahullaah menyebutkan lebih dari seratus keutamaan ilmu syar’i. Di buku ini penulis hanya sebutkan sebagian kecil darinya. Di antaranya:

[7]. Menuntut Ilmu Dan Mengajarkannya Lebih Utama Daripada Ibadah Sunnah Dan Wajib Kifayah
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Keutamaan ilmu lebih baik daripada keutamaan ibadah, dan agama kalian yang paling baik adalah al-wara’ (ketakwaan).” [1]

‘Ali bin Abi Thalib (wafat th. 40 H) Radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Orang yang berilmu lebih besar ganjaran pahalanya daripada orang yang puasa, shalat, dan berjihad di jalan Allah.” [2]

Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Sungguh, aku mengetahui satu bab ilmu tentang perintah dan larangan lebih aku sukai daripada tujuh puluh kali melakukan jihad di jalan Allah.” [3]

Aku (Ibnul Qayyim) katakan, “Ini -jika shahih- maknanya adalah: lebih aku sukai daripada jihad tanpa ilmu, karena amal tanpa ilmu kerusakannya lebih banyak daripada baiknya.” [4]

Al-Hasan rahimahullaah berkata, “Orang yang berilmu lebih baik daripada orang yang zuhud terhadap dunia dan orang yang bersungguh-sungguh dalam beribadah.” [5]

Sufyan ats-Tsauri (wafat th. 161 H) rahimahullaah mengatakan, “Aku tidak mengetahui satu ibadah pun yang lebih baik daripada mengajarkan ilmu kepada manusia.” [6]

Imam asy-Syafi’i (wafat th. 204 H) rahimahullaah mengatakan, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih baik setelah berbagai kewajiban syari’at daripada menuntut ilmu syar’i.” [7]

[8]. Ilmu Adalah Kebaikan Di Dunia
Mengenai firman Allah Ta’ala,

“Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia”

Al-Hasan (wafat th. 110 H) rahimahullaah berkata, “Yang dimaksud kebaikan dunia adalah ilmu dan ibadah.” Dan firman Allah,

“Dan kebaikan di akhirat.” [Al-Baqarah: 201]

Al-Hasan rahimahullaah berkata, “Maksudnya adalah Surga.”

Sesungguhnya kebaikan dunia yang paling agung adalah ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, dan ini adalah sebaik-baik tafsir ayat di atas. [8]

Ibnu Wahb (wafat th. 197 H) rahimahullaah berkata, “Aku mendengar Sufyan ats-Tsauri rahimahullaah berkata, ‘Kebaikan di dunia adalah rizki yang baik dan ilmu, sedangkan kebaikan di akhirat adalah Surga.’” [9]

[9]. Ilmu Adalah Jalan Menuju Kebahagiaan
Imam Ahmad dan at-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Shahabat Abu Kabasyah al-Anmari (wafat th. 13 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“...Sesungguhnya dunia diberikan untuk empat orang: (1) seorang hamba yang Allah berikan ilmu dan harta, kemudian dia bertaqwa kepada Allah dalam hartanya, dengannya ia menyambung sila-turahmi, dan mengetahui hak Allah di dalamnya. Orang tersebut kedudukannya paling baik (di sisi Allah). (2) Seorang hamba yang Allah berikan ilmu namun tidak diberikan harta, dengan niatnya yang jujur ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan.’ Ia dengan niatnya itu, maka pahala keduanya sama. (3) Seorang hamba yang Allah berikan harta namun tidak diberikan ilmu. Lalu ia tidak dapat mengatur hartanya, tidak bertaqwa kepada Allah dalam hartanya, tidak menyambung silaturahmi dengannya, dan tidak mengetahui hak Allah di dalamnya. Kedudukan orang tersebut adalah yang paling jelek (di sisi Allah). Dan (4) seorang hamba yang tidak Allah berikan harta tidak juga ilmu, ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan.’ Ia berniat seperti itu dan keduanya sama dalam mendapatkan dosa.” [10]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membagi penghuni dunia menjadi empat golongan. Golongan yang terbaik di antara mereka adalah orang yang diberikan ilmu dan harta; ia berbuat baik kepada manusia dan dirinya sendiri dengan ilmu dan hartanya. [11]

[10]. Menuntut Ilmu Akan Membawa Kepada Kebersihan Hati, Kemuliaannya, Kehidupannya, Dan Cahayanya
Sesungguhnya hati manusia akan menjadi lebih bersih dan mulia dengan mendapatkan ilmu syar’i dan itulah kesempurnaan diri dan kemuliaannya. Orang yang menuntut ilmu akan bertambah rasa takut dan taqwanya kepada Allah. Hal ini berbeda dengan orang yang disibukkan oleh harta dan dunia, padahal harta tidak membersihkan dirinya, tidak menambah sifat kesempurnaan dirinya, yang ada hatinya akan menjadi tamak, rakus, dan kikir.

Sesungguhnya mencintai ilmu dan mencarinya adalah akar segala ketaatan, sedangkan mencintai harta dan dunia adalah akar berbagai kesalahan yang menjerumuskan ke Neraka.

Setiap Muslim dan Muslimah harus mengetahui bahwa orang yang menuntut ilmu adalah orang yang bahagia karena ia mendengarkan ayat-ayat Al-Qur-an, hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan perkataan para Shahabat. Dengannya hati terasa nikmat dan akan membawa kepada kebersihan hati dan kemuliaan.

[11]. Orang Yang Menuntut Ilmu Akan Dido’akan Oleh Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan orang-orang yang mendengarkan sabda beliau dan memahaminya dengan keindahan dan berserinya wajah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Semoga Allah memberikan cahaya pada wajah orang yang mendengarkan sebuah hadits dari kami, lalu menghafalkannya dan menyampaikannya kepada orang lain. Banyak orang yang membawa fiqih namun ia tidak memahami. Dan banyak orang yang menerangkan fiqih kepada orang yang lebih faham darinya. Ada tiga hal yang dengannya hati seorang muslim akan bersih (dari khianat, dengki dan keberkahan), yaitu melakukan sesuatu dengan ikhlas karena Allah, menasihati ulil amri (penguasa), dan berpegang teguh pada jama’ah kaum Muslimin, karena do’a mereka meliputi orang-orang yang berada di belakang mereka.” Beliau bersabda, “Barangsiapa yang keinginannya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan kekuatannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina. Namun barangsiapa yang niatnya mencari dunia, Allah akan mencerai-beraikan urusan dunianya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya.” [12]

Seandainya keutamaan ilmu hanyalah ini saja, tentu sudah cukuplah hal itu untuk menunjukkan kemuliaannya. Sebab, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdo’a bagi orang yang mendengar sabda beliau, lalu memahaminya, menghafalnya, dan menyampaikannya. Maka, inilah empat tingkatan ilmu:

Tingkatan pertama dan kedua, yaitu mendengar dan memahaminya. Apabila ia mendengarnya, maka ia pun memahami dengan hatinya. Maksudnya, memikirkan-nya dan menetapkannya di dalam hatinya sebagaimana ditempatkannya sesuatu di dalam wadah yang tidak mungkin bisa keluar darinya. Demikian juga akalnya yang laksana tali kekang unta, sehingga ia tidak lari kesana-kemari. Wadah dan akal itu tidak mempunyai fungsi lain selain untuk menyimpan sesuatu.

Tingkatan ketiga, yaitu komitmen untuk menghafal ilmu agar ilmu tidak hilang.

Tingkatan keempat, yaitu menyampaikan ilmu dan menyebarkannya kepada ummat agar ilmu membuahkan hasilnya, yaitu tersebar luas di tengah-tengah masyarakat.

Barangsiapa melakukan keempat tingkatan di atas, maka ia masuk dalam do’a Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mencakup keindahan fisik dan psikis. Sesungguhnya kecerahan adalah hasil dari pengaruh iman, kebahagiaan batin, kegembiraan hati dan kesenangannya, kemudian hal itu menampakkan kecerahan, kebahagiaan, dan berseri-serinya wajah. Allah Ta’ala berfirman:

“Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan.” [Al-Muthaffifiin: 24]

Jadi, kecerahan dan berseri-serinya wajah seseorang yang mendengar Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu memahami, menghafal, dan menyampaikannya adalah hasil dari kemanisan, kecerahan, dan kebahagiaan di dalam hati dan jiwanya. [13]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan perawi hadits dengan kebaikan dan keelokan wajah, baik di dunia maupun di akhirat. Dikatakan bahwa maknanya adalah Allah Ta’ala menyampaikannya pada kenikmatan Surga.

Perawi hadits yang dido’akan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan keelokan wajah adalah perawi lafazh hadits, meskipun ia belum memahami semua makna hadits. Betapa banyak orang yang membawa fiqih kepada orang yang lebih faham daripadanya. Meskipun selamanya ia tidak memiliki pemahaman terhadap hadits. Banyak pembawa fiqih yang tidak memiliki pemahaman (yang memadai).

Ini menunjukkan tentang disyari’atkannya meriwayatkan hadits tanpa (harus) memahaminya (terlebih dahulu). Bahkan hal ini menunjukkan disukainya hal tersebut. Juga menunjukkan bahwa meriwayatkan hadits tanpa pengetahuannya terhadap pemahaman hadits tersebut adalah perbuatan terpuji, tidak tercela. Dengan perbuatan itu, ia berhak mendapatkan do’a Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. [14]

[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
___________
Foote Notes
[1]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (no. 3972) dan al-Bazzar dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallaahu ‘anhu, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (no. 68), lihat juga Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/106, no. 96).
[2]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 133).
[3]. Diriwayatkan oleh al-Khathib dalam al-Faqiih wal Mutafaqqih (I/102, no. 52).
[4]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 133).
[5]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/120, no. 113).
[6]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/211, no. 227).
[7]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 135).
[8]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 141) dan Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/229-230, no. 252 dan 253).
[9]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/230, no. 254).
[10]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/230-231), at-Tirmidzi (no. 2325), Ibnu Majah (no. 4228), al-Baihaqi (IV/ 189), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIV/289), dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (XXII/345-346, no. 868-870), dari Shahabat Abu Kabsyah al-Anmari radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih Sunan at-Tirmidzi (II/270, no. 1894).
[11]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarfuhu (hal. 252-253).
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/183), ad-Darimi
(I/75), Ibnu Hibban (no. 72, 73-Mawaarid), Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/175-176, no. 184), lafazh hadits ini milik Imam Ahmad, dari ‘Abdurrahman bin Aban bin ‘Utsman radhiyallaahu ‘anhum. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 404) dan al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 70-74).
[13]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarfuhu (hal. 70-72).
[14]. Lihat Nashaa-ih Manhajiyyah li Thaalibis Sunnah an-Nabawiyyah (hal. 38-39).

Label: , ,


Read more!
 

Dimana Allah?

Dalam pembahasan ini kami ingin membawakan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama`ah tentang ketinggian Allah subhanahu wa ta`ala atas seluruh makhluk-Nya dan istiwa`-Nya di atas arsy-Nya. Ketinggian Allah subhanahu wa ta`ala telah nyata dengan dalil-dalil Al Qur`an, As Sunnah, akal, fithrah dan ijma` ummat.

Adapun dalil dari Al Qur`an tentang ketinggian Allah subhanahu wa ta`ala telah Allah subhanahu wa ta`ala firmankan dalam Al Qur`an pada delapan tempat.

1. Surat Al-A`la : 1

Sucikan nama Rabbmu Yang Paling Tinggi.

Ayat di atas merupakan dalil yang jelas bahwa Allah subhanahu wa ta`ala berada di atas semua makhluknya. Rasulullah shalallau `alaihi wasallam juga menyuruh kita untuk mengucapkan subhäna rabbiyal a`lä [Maha suci rabbku yang Maha Tinggi] pada saat sujud merupakan pengakuan atas ketinggian Allah subhanahu wa ta`ala dan pengakuan rendahnya makhluk dengan bersujud.

2. Surat Al-Baqarah : 255

… dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Agung.

Imam At Thabari menjelaskan tentang nama Allah subhanahu wa ta`ala [Al Aliyyu] : `Dia yang mempunyai ketinggian atas segala sesuatu dan semua berada di bawah-Nya.

Ibnu Abil Izzi Al Hanafi berkata: `Penetapan makna ketinggian ini semata-mata mengandung penetapan ketinggian secara mutlak dari segi bentuk. Bagi-Nya seluruh kesucian, ketinggian, kekuasaan, kemampuan dan ketinggian Dzat. Barangsiapa menetapkan sebagian sifat-Nya dan menafikan sebagian sifat-Nya yang lain, sungguh dia telah merendahkan Allah subhanahu wa ta`ala.

3. Surat An Nahl : 50

Mereka takut kepada Rabb mereka yang (berada) di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).

Ibnu Katsir mengatakan: Allah subhanahu wa ta`ala mengkhabarkan tentang keagungan dan kebesaran serta kesombongan-Nya yang segala sesuatu tunduk kepada-Nya. Semua makhluk, baik yang hidup ataupun mati, baik yang mukalaf (makhluk yang dibebani syariat yaitu manusia dan jin) maupun malaikat, baik yang mempunyai bayangan yang menaungi kanan maupun kirinya, mereka sesungguhnya bersujud kepada Allah subhanahu wa ta`ala.

Usamah bin Taufiq Al Qashas berkata: Aku tidak menduga seorangpun yang mempunyai pengetahuan bahasa Arab yang tidak mengetahui apa yang terkandung dalam ayat ini berupa penetapan ketinggian Allah subhanahu wa ta`ala, karena Allah subhanahu wa ta`ala dalam ayat ini menyebutkan para malaikat yang takut kepada rabb mereka yang berada di atas mereka. Sedangkan para malaikat itu berada di langit dan di atas kita, dan di atas mereka adalah Rabbul `Izah.

4. Surat Al Mulk : 16

Apakah kalian merasa aman terhadap Allah subhanahu wa ta`ala yang berada di langit..

Ayat ini menunjukkan ketinggian dan keberadaan Allah subhanahu wa ta`ala serta menutup jalan untuk menghilangkan atau meniadakan sifat Allah subhanahu wa ta`ala atau mentakwilnya (memalingkan makna dari lafadz dhahirnya). Dan ayat ini merupakan penentu bahwa Allah subhanahu wa ta`ala di atas langit sesuai dengan kesempurnaan dan keagungan-Nya.

5. Surat Fathir : 10

…kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya…

Rasulullah shalallau `alaihi wasallam bersabda Sesungguhnya pada waktu itu dibuka pintu-pintu langit, maka aku suka amal-amal shalihku naik pada saat ini. (Riwayat Shahih Tirmidzi dan Ahmad).

Dalam hal ini Imam Nawawi mengatakan: hadits ini adalah dalil yang jelas tentang naiknya perkataan secara hakekat dengan sabdanya pada waktu itu dibuka pintu-pintu langit. Maka mengapa pintu langit dibuka? Bukankah karena naiknya perkataan tersebut kepada Allah subhanahu wa ta`ala dalam ketinggian-Nya.

6. Surat Al-Ma`arij : 4

Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada-Nya (Rabbnya).

Imam At Thabari mengatakan bahwa para malaikat dan ruh (yaitu Jibril) naik kepada-Nya yaitu Allah subhanahu wa ta`ala, maka jelaslah bahwa Allah subhanahu wa ta`ala benar-benar berada dalam ketinggian.

7. Surat Al-A`raf : 54

Sesungguhnya Rabb kalian adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam waktu enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy.

Imam Al Qurtubi berkata dalam tafsirnya : Tak seorang pun dari salafus shalih mengingkari bahwa bersemayam-Nya Allah subhanahu wa ta`ala di atas Arsy-Nya itu secara hakikat dan pengkhususan Arsy-Nya dengan bersemayam-Nya karena Arsy adalah makhluk-Nya yang paling besar.

Ibnu Jarir dalam Sharihus Sunnah berkata : Dan cukuplah seseorang mengetahui bahwa Rabb-Nya bersemayam di atas Arsy-Nya. Barangsiapa yang memahami selain yang demikian sungguh dia telah gagal dan merugi.

8. Surat Fushilat : 6

Diturunkan dari (Tuhanmu) Yang maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Dalil-dalil tentang ketinggian Allah subhanahu wa ta`ala dari Sunnah Rasulullah shalallau `alaihi wasallam.

I. Dalil dari sunnah Qauliyah

Dari Abi Said Al Khudri bahwasanya Rasulullah bersabda, Kenapa kalian tidak percaya kepadaku, sedangkan aku dipercaya oleh Dzat yang berada di atas langit yang menurunkan kepadaku khabar dari langit pada waktu pagi dan sore? (Riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, An Nasai dan Baihaqi).

Dari Jabir bin Abdillah bahwasanya dia meendengar Nabi shalallau `alaihi wasallam bersabda, Barangsiapa yang tidak menyayangi apa yang berada di bumi, tidak disayang oleh Dzat yang ada di atas langit. (Hadits Darimi, Adz Dzahabi dan Ath Thabrani).

Dari Abdillah bin Amr bahwa Nabi shalallau `alaihi wasallam bersabda, Rahmatillah siapa yang ada di bumi pasti kalian akan dirahmati oleh Dzat yang ada di atas langit. (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Bukhari, Al Hakim dan Al Baihaqi, dishahihkan oleh Al Albani)

Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi shalallau `alaihi wasallam bersabda, Apabila Allah subhanahu wa ta`ala menetapkan perintah di atas langit, para malaikat mengepak-ngepak sayap-sayapnya karena patuh akan firman-Nya, seakan-akan terdengar seperti gemerincing rantai besi (yang ditarik) di atas batu rata, hal itu memkakkan mereka (sehingga mereka jatuh pingsan karena takut). Ketika dihilangkan rasa takut dari hati mereka, mereka berkata : Apakah yang difirmankan oleh Tuhanmu?. Mereka menjawab : Firman Al Haq yang benar dan Dialah yang Maha Tinggi dan Maha besar…(Riwayat Bukhari, Ibnu Majjah, Ibnu Khuzaimah dan Al Baihaqi disahihkan oleh Al Albani).

Dari Abdillah bin Umar berkata, bersabda Rasulullah shalallau `alaihi wasallam, Hati-hati kalian dari doa orang yang terdzalimi, karena doa tersebut naik kepada Allah subhanahu wa ta`ala seperti bunga api (dalam riwayat lain naik ke langit). (riwayat Al Hakim, Ad Dailami dan Adz Dzahabi disahihkan oleh Al Albani).

II. Dalil-dalil dari Sunnah Fi`liyah

Dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah shalallau `alaihi wasallam bersabda pada khutbah hari Arafah, Apakah aku sudah menyampaikan (risalahku)? Para sahabat menjawab, Ya. Kemudian Rasulullah shalallau `alaihi wasallam mengisyaratkan telunjuknya ke langit kemudian beliau menunjuk ke arah sahabat sambil bersabda, Ya, Allah saksikanlah. (Riwayat Muslim, Abu Dawud, Darimi dan Ibnu Majjah disahihkan oleh Al Albani).

Dari Anas bin Malik berkata bahwasanya seorang laki-laki masuk masjid pada hari Jum`at sedang Nabi shalallau `alaihi wasallam sedan berdiri berkhutbah. Kemudian laki-laki tersebut berkata : wahai Rasulullah telah hancur harta-harta, telah putus jalan-jalan, maka berdoalah kepada Allah subhanahu wa ta`ala agar menghujani kami. Kemudian Nabi shalallau `alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya dan berdoa, Ya Allah hujanilah kami, Ya Allah hujanilah kami. (riwayat Bukhari dan Muslim).

III. Dalil dari Sunnah Taqririyah

Dari Mu`awiyah bin Al hakam As Shahmi berkata, Dulu aku punya kambing yang berada di antara gunung Uhud dan Al Jawaniyah yang digembalakan oleh budak perempuankau. Pada suatu hari aku melihat seekor serigala membawa mangsa salah satu dari kambing gembalaan dan aku adalah seorang dari Bani Adam lalu aku marah. Kemudian aku memukulnya, lalu aku datangi Nabi shalallau `alaihi wasallam dan aku sebutkan kejadian tersebut kepadanya, Ya, Rasulullah aku lepaskankah dia? Rasulullah menjawab, panggil ia. Maka aku panggil ia. Kemudian Rasulullah menanyainya, Dimanakah Allah? Kemudian ia menjawab : `Allah subhanahu wa ta`ala di langit.` Dan siapakah aku? `Anda Rasulullah shalallau `alaihi wasallam.` Rasulullah shalallau `alaihi wasallam bersabda, Bebaskan ia karena sesungguhnya dia adalah seorang mukmin. (Riwayat Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Nasai, Abu Awanah, Darimi dan Baihaqi).

Al Hafidz Adz Dzahabi berkata, Dan kami berpendapat setiap orang yang ditanya dimana Allah subhanahu wa ta`ala dan dia akan segera menjawab dengan fitrahnya di langit, maka pada hadits di atas ada dua masalah:

1. Disyariatkannya pertanyaan dimana Allah subhanahu wa ta`ala

2. Jawaban bagi orang yang ditanya seperti demikian adalah, `Allah subhanahu wa ta`ala berada di atas langit`.

Al Imam Utsman Ad Darimi berkata, `Pada hadits di atas terdapat dalil bagi seseorang yang ditanya : Dimana Allah `. Dan dia tidak tahu jawabannya bahwa Allah subhanahu wa ta`ala di atas langit, maka dia bukanlah seorang mukmin.`

Ijma` ulama menyatakan bahwa ketinggian adalah sifat kesempurnaan dan kerendahan adalah sifat kekurangan. Dan semua orang yang berakal telah sepakat bahwa sifat Allah subhanahu wa ta`ala adalah sempurna.

Ijma` ulama menyatakan ketinggian Allah subhanahu wa ta`ala sebagaimana dinukil oleh Ibnu Taimiyah, bahwa para salafus shalih bersepakat atas ketetapan bahwa Allah subhanahu wa ta`ala berada dalam ketinggian.

Imam Sa`ad bin Ali Az Zanjani berkata, `Dan kaum muslimin telah berkata bahwa Allah subhanahu wa ta`ala adalah Yang Maha Tinggi dan berada dalam ketinggian dan Allah subhanahu wa ta`ala pun telah memfirmankan tentang ketinggiannya dalam surat Al A`la.`

Abdullah bin Mas`ud berkata, `Al Arsy berada di atas air dan Allah subhanahu wa ta`ala berada di atas Arsy. Tidak ada yang tersembunyi atasnya sedikitpun dari amal-amal kalian.`

Ka`ab bin Al Ahbar (seorang pendeta Yahudi yang masuk Islam pada jaman sahabat) berkata, `Allah subhanahu wa ta`ala berfirman dalam Taurat : Aku adalah Allah subhanahu wa ta`ala, berada di atas hamba-hamba-Ku, dan Arsy-Ku, Aku mengurus seluruh perkara hamba-KU. Tidak sedikitpun yang tersembunyi atas-Ku baik di langit maupun di bumi.

Wallahu a`lam.

Dinukil dari Majalah Salafy edisi VIII/Rabi`ul Awwal/ 1417 hal 27-3

Label: , ,


Read more!
 

Keutamaan Ilmu Syar'i Dan Mempelajarinya : Orang Yang Berilmu Akan Allah Angkat Derajatnya

KEUTAMAAN ILMU SYAR’I DAN MEMPELAJARINYA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Allah Ta’ala telah memuji ilmu dan pemiliknya serta mendorong hamba-hamba-Nya untuk berilmu dan membekali diri dengannya. Demikian pula Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang suci.

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (wafat th. 751 H) rahimahullaah menyebutkan lebih dari seratus keutamaan ilmu syar’i. Di buku ini penulis hanya sebutkan sebagian kecil darinya. Di antaranya:

[1]. Kesaksian Allah Ta’ala Kepada Orang-Orang Yang Berilmu
Allah Ta’ala berfirman,

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” [Ali ‘Imran: 18]

Pada ayat di atas Allah Ta’ala meminta orang yang berilmu bersaksi terhadap sesuatu yang sangat agung untuk diberikan kesaksian, yaitu keesaan Allah Ta’ala... Ini menunjukkan keutamaan ilmu dan orang-orang yang berilmu. [1]

Selain itu, ayat di atas juga memuat rekomendasi Allah tentang kesucian dan keadilan orang-orang yang berilmu.

Sesungguhnya Allah hanya akan meminta orang-orang yang adil saja untuk memberikan kesaksian. Di antara dalil yang juga menunjukkan hal ini adalah hadits yang masyhur, bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Ilmu ini akan dibawa oleh para ulama yang adil dari tiap-tiap generasi. Mereka akan memberantas penyimpangan/perubahan yang dilakukan oleh orang-orang yang ghuluw (yang melampaui batas), menolak kebohongan pelaku kebathilan (para pendusta), dan takwil orang-orang bodoh.” [2]

[2]. Orang Yang Berilmu Akan Allah Angkat Derajatnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan secara khusus tentang diangkatnya derajat orang yang berilmu dan beriman. Allah Ta’ala berfirman.

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu: ‘Berilah kelapangan dalam majelis’, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Al-Mujaadilah : 11] [3]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah mengangkat dengan Al-Qur-an beberapa kaum dan Allah pun merendahkan beberapa kaum dengannya.” [4]

Di zaman dahulu ada seseorang yang lehernya cacat, dan ia selalu menjadi bahan ejekan dan tertawaan. Kemudian ibunya berkata kepadanya, “Hendaklah engkau menuntut ilmu, niscaya Allah akan mengangkat derajatmu.” Sejak itulah, orang itu belajar ilmu syar’i hingga ia menjadi orang alim, sehingga ia diangkat menjadi Qadhi (Hakim) di Makkah selama 20 (dua puluh) tahun. Apabila ada orang yang berperkara duduk di hadapannya, maka gemetarlah tubuhnya hingga ia berdiri. [5]

Orang yang berilmu dan mengamalkannya, maka kedudukannya akan diangkat oleh Allah di dunia dan akan dinaikkan derajatnya di akhirat.

Imam Sufyan bin ‘Uyainah (wafat th. 198 H) rahimahullaah mengatakan, “Orang yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para Nabi dan ulama.” [6]

Allah pun telah berfirman tentang Nabi Yusuf ‘alaihis salaam:

“...Kami angkat derajat orang yang Kami kehendaki, dan diatas setiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui.” [Yusuf: 76]

Disebutkan bahwa tafsir ayat di atas adalah bahwasanya Kami (Allah) mengangkat derajat siapa saja yang Kami kehendaki dengan sebab ilmu. Sebagaimana Kami telah mengangkat derajat Yusuf ‘alaihis salaam di atas saudara-saudaranya dengan sebab ilmunya.

Lihatlah apa yang diperoleh oleh Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam berupa pengetahuan (ilmu) terhadap Al-Kitab, Hikmah, Taurat dan Injil. Dengannyalah Allah Ta’ala mengangkatnya kepada-Nya, mengutamakannya serta memuliakannya. Demikian juga apa yang diperoleh pemimpin anak Adam (yaitu Nabi Muhammad) shallallaahu ‘alaihi wa sallam berupa ilmu yang Allah sebutkan sebagai suatu nikmat dan karunia.

Allah Ta’ala berfirman:

“... Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur-an) dan hikmah (As-Sunnah) kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu sangat besar.” [An-Nisaa’: 113] [7]

[3]. Orang Yang Berilmu Adalah Orang-Orang Yang Takut Kepada Allah
Allah mengabarkan bahwa mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah Ta’ala, bahkan Allah mengkhususkan mereka di antara manusia dengan rasa takut tersebut. Allah berfirman:

“... Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama.” [Faathir: 28]

Ibnu Mas’ud Radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Cukuplah rasa takut kepada Allah itu disebut sebagai ilmu. Dan cukuplah tertipu dengan tidak mengingat Allah disebut sebagai suatu kebodohan.” [8]

Imam Ahmad rahimahullaah berkata, “Pokok ilmu adalah rasa takut kepada Allah.” [9] Apabila seseorang bertambah ilmunya, maka akan bertambah rasa takut-nya kepada Allah.

[4]. Ilmu Adalah Nikmat Yang Paling Agung
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan beberapa nikmat dan karunia-Nya atas Rasul-Nya (Nabi Muhammad) shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan menjadikan nikmat yang paling agung adalah diberikannya Al-Kitab dan Al-Hikmah, dan Allah mengajarkan beliau apa yang belum diketahuinya.
Allah berfirman:

“... Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur-an) dan hikmah (As-Sunnah) kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu sangat besar.” [An-Nisaa’: 113] [10]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab (Al-Qur-an) dan yang sepertinya (As-Sunnah) bersamanya...” [11]

[5]. Faham Dalam Masalah Agama Termasuk Tanda-Tanda Kebaikan
Dalam ash-Shahiihain dari hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan (wafat th. 78 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan pemahaman agama kepadanya.” [12]

Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak diberikan pemahaman dalam agamanya tidak dikehendaki kebaikan oleh Allah, sebagaimana orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia menjadikannya faham dalam masalah agama. Dan barangsiapa yang diberikan pemahaman dalam agama, maka Allah telah menghendaki kebaikan untuknya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan pemahaman (fiqh) adalah ilmu yang mengharuskan adanya amal. [13]

Imam an-Nawawi (wafat th. 676 H) rahimahullaah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat keutamaan ilmu, mendalami agama, dan dorongan kepadanya. Sebabnya adalah karena ilmu akan menuntunnya kepada ketaqwaan kepada Allah Ta’ala.” [14]

[6]. Orang Yang Berilmu Dikecualikan Dari Laknat Allah
Imam at-Tirmidzi (wafat th. 249 H) rahimahullaah meriwayatkan dari Abu Hurairah (wafat th. 57 H) radhi-yallaahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ketahuilah, sesungguhnya dunia itu dilaknat dan dilaknat apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya, orang berilmu, dan orang yang mempelajari ilmu.’” [15]

[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
___________
Foote Notes
[1]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 21).
[2]. Hasan lighairihi: Diriwayatkan oleh al-‘Uqaily dalam adh-Dhu’afaa-ul Kabir (I/26), Ibnu Abi Hatim dalam al-Jarh wat Ta’dil (II/17) dan lainnya, dari Ibrahim bin ‘Abdurrahman al-‘Adzry secara mursal. Untuk lebih jelas tentang takhrij hadits ini dapat dilihat dalam Irsyaadul Fuhuul fii Tashhiih Hadiitsil ‘Udul (hal. 11-35) karya Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied al-Hilali.
[3]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 26).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 817).
[5]. Dinukil dari al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 220-221).
[6]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 223).
[7]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 238-239), dengan ringkas.
[8]. Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabir (no. 8927) dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jaami’ (II/812, no. 1514).
[9]. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 52).
[10]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 30).
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/131), Abu Dawud (no. 4604), Ibnu Hibban (no. 12) dan lainnya, dari Miqdam bin Ma’di Kariba radhiyallaahu ‘anhu.
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/306, II/234, IV/92, 95, 96), al-Bukhari (no. 71, 3116, 7312), dan Muslim (no. 1037), dari Shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallaahu ‘anhuma.
[13]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 49).
[14]. Syarah Shahiih Muslim lil Imam an-Nawawi (VII/128).
[15]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2322), Ibnu Majah (no. 4112), dan Ibnu ‘Abdil Barr (I/135, no. 135), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih at-Targhib wat Tarhiib (no. 74). Lafazh ini milik at-Tirmidzi.

Label: , , ,


Read more!

Senin, April 13, 2009

 

KEUTAMAAN ILMU SYAR’I DAN MEMPELAJARINYA

KEUTAMAAN ILMU SYAR’I DAN MEMPELAJARINYA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Allah Ta’ala telah memuji ilmu dan pemiliknya serta mendorong hamba-hamba-Nya untuk berilmu dan membekali diri dengannya. Demikian pula Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang suci.

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (wafat th. 751 H) rahimahullaah menyebutkan lebih dari seratus keutamaan ilmu syar’i. Di buku ini penulis hanya sebutkan sebagian kecil darinya. Di antaranya:

[12]. Menuntut Ilmu Adalah Jihad Di Jalan Allah Dan Orang Yang Menuntut Ilmu Laksana Mujahid Di Jalan Allah Ta’ala
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

“Barangsiapa yang memasuki masjid kami ini (masjid Nabawi) dengan tujuan mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, maka ia laksana orang yang berjihad di jalan Allah Ta’ala. Dan barangsiapa yang memasukinya dengan tujuan selain itu, maka ia laksana orang yang sedang melihat sesuatu yang bukan miliknya.” [1]
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah mengatakan, “Jihad melawan hawa nafsu memiliki empat tingkatan:

Pertama: berjihad untuk mempelajari petunjuk (ilmu yang bermanfaat) dan agama yang benar (amal shalih). Seseorang tidak akan mencapai kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat kecuali dengannya.

Kedua: berjihad untuk mengamalkan ilmu setelah mengetahuinya.

Ketiga: berjihad untuk mendakwahkan ilmu dan mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya.

Keempat: berjihad untuk sabar dalam berdakwah kepada Allah Ta’ala dan sabar terhadap gangguan manusia. Dia menanggung kesulitan-kesulitan dakwah itu semata-mata karena Allah.
Apabila keempat tingkatan ini telah terpenuhi pada dirinya, maka ia termasuk orang-orang yang Rabbani. [2]

Abu Darda radhiyallaahu ‘anhu mengatakan, “Barangsiapa berpendapat bahwa pergi mencari ilmu tidak termasuk jihad, sungguh, ia kurang akalnya.” [3]

Berjihad dengan hujjah (dalil) dan keterangan didahulukan atas jihad dengan pedang dan tombak. Allah berfirman kepada Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar berjihad dengan Al-Qur-an melawan orang-orang kafir.

“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur-an dengan jihad yang besar.” [Al-Furqaan: 52]

Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan berjihad melawan orang-orang kafir dan munafik dengan cara menyampaikan hujjah (dalil dan keterangan).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata, “Jihad dengan hujjah (dalil) dan keterangan didahulukan atas jihad dengan pedang dan tombak.” [4]

[13]. Pahala Ilmu Yang Diajarkan Akan Tetap Mengalir Meskipun Pemiliknya Telah Meninggal Dunia
Disebutkan dalam Shahiih Muslim, dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

“Jika seorang manusia meninggal dunia, maka pahala amalnya terputus, kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akannya.” [5]

Hadits ini adalah dalil terkuat tentang keutamaan dan kemuliaan ilmu serta besarnya buah dari ilmu. Sesungguhnya pahala ilmu tetap diterima oleh orang yang bersangkutan selama ilmunya diamalkan orang lain. Seolah-olah ia tetap hidup dan amalnya tidak terputus. Ini disamping kenangan dan sanjungan yang dialamatkan kepadanya. Tetap mengalirnya pahala untuk dirinya pada saat pahala amal perbuatan telah terputus dari manusia adalah kehidupan kedua baginya.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya mengkhususkan ketiga hal di atas yang pahalanya tetap diterima oleh si mayit karena ia (si mayit) adalah penyebab keberadaan ketiga hal tersebut. Karena ia menjadi sebab terbentuknya anak shalih, shadaqah jariyah, dan ilmu yang bermanfaat, maka pahalanya tetap mengalir kepadanya. Seorang hamba mendapatkan pahala karena tindakannya langsung atau tindakan yang dilahirkan (tindakan tidak langsung) darinya. Kedua prinsip ini disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

“Yang demikian itu ialah karena mereka (para Mujahidin) tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu akan dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal shalih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” [At-Taubah: 120]

Kesemua hal di atas lahir dari tindakan mereka dan tidak ditakdirkan bagi mereka. Yang ditakdirkan bagi mereka ialah sebab-sebabnya yang mereka lakukan secara langsung. Maksudnya, bahwa haus, payah, lapar, dan membangkitkan amarah musuh bukanlah karena (sengaja) mereka lakukan demikian, lalu ditulis jadi amal shalih. Akan tetapi, hal ini timbul dari perbuatan mereka (yaitu jihad fi sabilillaah) karena itu ditulis bagi mereka sebagai amal shalih. [6]

[14]. Dengan Menuntut Ilmu, Kita Akan Berfikir Yang Baik, Benar, Mendapatkan Pemahaman Yang Benar, Dan Dapat Mentadabburi Ayat-Ayat Allah
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullaah mengatakan, “Memikirkan nikmat-nikmat Allah termasuk ibadah yang paling utama.” [7]

Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi hati daripada membaca Al-Qur-an dengan tadabbur dan tafakkur. Karena hal itu mengumpulkan semua kedudukan orang yang berjalan kepada Allah, keadaan orang-orang yang mengamalkan ilmunya, dan kedudukan orang-orang yang bijaksana. Hal inilah yang mewariskan rasa cinta, rindu, takut, harap, kembali kepada Allah, tawakkal, ridha, penyerahan diri, syukur, sabar dan segala keadaan yang dengannya hati menjadi hidup dan sempurna.

Seandainya manusia mengetahui apa yang terdapat dalam membaca Al-Qur-an dengan tadabbur, maka ia akan lebih menyibukkan diri dengannya daripada selainnya. Apabila ia melewati ayat yang dibutuhkannya untuk mengobati hatinya, maka ia akan mengulang-ulangnya meskipun sampai seratus kali, walaupun ia menghabiskan satu malam. Membaca Al-Qur-an dengan memikirkan dan memahaminya lebih baik daripada membacanya sampai khatam tanpa mentadabburi dan memahaminya, lebih bermanfaat bagi hati dan lebih membantu untuk memperoleh keimanan dan merasakan manisnya Al-Qur-an. Membaca Al-Qur-an dengan memikirkannya adalah pokok kebaikan hati. [8]

Al-Hasan al-Bashri rahimahullaah mengatakan, “Al-Qur-an diturunkan untuk diamalkan, maka jadikanlah membacanya sebagai salah satu pengamalannya.” [9]

[15]. Ilmu Lebih Baik Daripada Harta
Keutamaan ilmu atas harta dapat diketahui dari beberapa segi:
Pertama: Ilmu adalah warisan para Nabi, sedangkan harta adalah warisan para raja dan orang-orang kaya.

Kedua: Ilmu akan menjaga pemiliknya, sedangkan pemilik harta menjaga hartanya.

Ketiga: Ilmu adalah penguasa atas harta, sedangkan harta tidak berkuasa atas ilmu.

Keempat: Harta akan habis dengan dibelanjakan, sedangkan ilmu akan bertambah jika diajarkan.

Kelima: Apabila meninggal dunia, pemilik harta akan berpisah dengan hartanya, sedangkan ilmu akan masuk bersamanya ke dalam kubur.

Keenam: Harta dapat diperoleh orang-orang mukmin maupun kafir, orang baik maupun orang jahat. Sedangkan ilmu yang bermanfaat hanya dapat diperoleh orang-orang yang beriman.

Ketujuh: Orang yang berilmu dibutuhkan oleh para raja dan selain mereka, sedangkan pemilik harta hanya dibutuhkan oleh orang-orang miskin.

Kedelapan: Jiwa akan mulia dan bersih dengan mengumpulkan ilmu dan berusaha memperolehnya -hal itu termasuk kesempurnaan dan kemuliaannya- sedangkan harta tidak membersihkannya, tidak menyempurnakannya bahkan tidak menambah sifat kemuliaan.

Kesembilan: Harta itu mengajak jiwa kepada bertindak sewenang-wenang dan sombong, sedangkan ilmu mengajaknya untuk rendah hati dan melaksanakan ibadah.

Kesepuluh: Ilmu membawa dan menarik jiwa kepada kebahagiaan yang Allah ciptakan untuknya, sedangkan harta adalah penghalang antara jiwa dengan kebahagiaan tersebut.

Kesebelas: Kekayaan ilmu lebih mulia daripada kekayaan harta karena kekayaan harta berada di luar hakikat manusia, seandainya harta itu musnah dalam satu malam saja, jadilah ia orang yang miskin, sedangkan kekayaan ilmu tidak dikhawatirkan kefakirannya, bahkan ia akan terus bertambah selamanya, pada hakikatnya ia adalah kekayaan yang paling tinggi.

Kedua belas: Mencintai ilmu dan mencarinya adalah pokok segala ketaatan, sedangkan cinta dunia dan harta dan mencarinya adalah pokok segala kesalahan.

Ketiga belas: Nilai orang kaya ada pada hartanya dan nilai orang yang berilmu ada pada ilmunya. Apabila hartanya lenyap, lenyaplah nilainya dan tidak tersisa tanpa nilai, sedangkan orang yang berilmu nilai dirinya tetap langgeng, bahkan nilainya akan terus bertambah.

Keempat belas: Tidaklah satu orang melakukan ketaatan kepada Allah Ta'ala, melainkan dengan ilmu, sedangkan sebagian besar manusia berbuat maksiat kepada Allah lantaran harta mereka.

Kelima belas: Orang yang kaya harta selalu ditemani dengan ketakutan dan kesedihan, ia sedih sebelum mendapatkannya dan merasa takut setelah memperoleh harta, setiap kali hartanya bertambah banyak, bertambah kuat pula rasa takutnya. Sedangkan orang yang kaya ilmu selalu ditemani rasa aman, kebahagiaan, dan kegembiraan.
Wallaahu a’lam. [10]

[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
___________
Foote Notes
[1]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 87-at-Ta’liiqaatul Hisaan), Ibnu Majah (no. 227), Ahmad (II/350, 526-527), Ibnu Abi Syaibah (no. 33061), dan al-Hakim (I/91), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[2]. Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad (III/10). Lihat Syarah Tsa-latsatil Ushuul (hal. 25-26), karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[3]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 145).
[4]. Syarah Qashidah Nuuniyyah (I/12) oleh Syaikh Muhammad Khalil Hirras.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631), al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (no. 38), Abu Dawud (no. 2880), an-Nasa-i (VI/251), at-Tirmidzi (no. 1376), Ahmad (II/372), al-Baihaqi (VI/ 278), lafazh ini milik at-Tirmidzi. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1580).
[6]. Lihat al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 242-243).
[7]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 254).
[8]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 262).
[9]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 263).
[10]. Lihat kitab al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 160-163).

Label: , , ,


Read more!

Jumat, April 10, 2009

 

Dapatkan Mesej Bergambar di Sini

Read more!
 

Info Kajian

Insya Allah ahad 12 April 2009 jam 10.00 ust Arman Amri akan memberikan tausiyah di masjid As Sunnah bintaro, untuk umum (ikhwan&akhwat). Mohon disebarkan ke yang lain.
Info 95086994. Semoga bermanfaat.


Label: ,


Read more!
 

Imam Ali bertaklid buta pada Abubakar As Shiddiq

Bukannya ikut membela Fatimah -putri baginda Nabi SAW- Ali malah membela keputusan Abubakar yang dituduh syi'ah menzhalimi Fatimah, sebenarnya siapa yang zhalim? Abubakar yang melaksanakan wasiat Nabi SAW atau syi'ah yang menggugat imamnya yang maksum?
Syi’ah selalu mengupayakan pembunuhan karakter terhadap Abubakar As Shiddiq dengan mengangkat masalah fadak, yang menurut Fatimah menjadi miliknya setelah wafatnya Nabi SAW. Tapi mari kita lihat sisi lain dari persoalan ini, sisi lain yang jarang diungkap oleh syi’ah sendiri.
Sebuah pertanyaan penting, jika memang tanah Fadak itu adalah benar milik Fatimah, apakah kepemilikan itu gugur setelah Fatimah wafat? Tentunya tidak, artinya ahli waris dari Fatimah yaitu Ali, Hasan, Husein dan Ummi Kultsum tetap berhak mewarisi harta Fatimah. Begitu juga ahli waris Nabi bukan hanya Fatimah, melainkan juga Abbas pamannya. Sejarah tidak pernah mencatat adanya upaya dari Abbas paman Nabi utnuk menuntut harta warisan seperti yang dilakukan oleh Fatimah. Selama ini syi’ah selalu melakukan black campaign terhadap Abubakar yang dituduh menghalangi Fatimah untuk mendapatkan warisannya. Tetapi alangkah terkejutnya ketika kita membaca riwayat-riwayat dari kitab Syi’ah sendiri yang memuat pernyataan para imam syi’ah -yang tidak pernah keliru- yang setuju dengan keputusan Abubakar. Seakan-akan para imam syi’ah begitu saja bertaklid buta pada Abubakar As Shiddiq.

Sampai hari ini syi’ah masih terus menangisi tragedi Fatimah yang dihalangi oleh Abubakar dari mengambil harta warisan, tapi ternyata Ali setuju dengan keputusan Abubakar. Apakah Ali setuju dengan keputusan Abubakar yang menyakiti Fatimah? Ataukah keputusan Abubakar adalah tepat karena didukung oleh pernyataan dari imam maksum? Karena Imam maksum tidak pernah salah.

Salah seorang ulama syi’ah bernama Al Murtadho Alamul Huda –saudara kandung As Syarif Ar Radhiy, penyusun kitab Nahjul Balaghah- menyatakan: saat Ali menjabat khalifah, ada orang mengusulkan agar Ali mengambil kembali tanah fadak, lalu dia berkata: saya malu pada Allah untuk merubah apa yang diputuskan oleh Abubakar dan diteruskan oleh Umar. Bisa dilihat dalam kitab As Syafi hal 213.

Ketika Abu Ja’far Muhammad bin Ali yang juga dijuluki Al Baqir -Imam Syi’ah yang kelima- saat ditanya oleh Katsir An Nawwal yang bertanya: semoga Allah menjadikan aku sebagai tebusanmu, apakah Abubakar dan Umar mengambil hak kalian? Tidak, demi Allah yang menurunkan Al Qur’an pada hambanya untuk menjadi peringatan bagi penjuru alam, mereka berdua tidak menzhalimi kami meskipun seberat biji sawi, Katsir bertanya lagi: semoga aku dijadikan tebusanmu, apakah aku harus mencintai mereka? Imam Al Baqir menjawab: iya, celakalah kamu, cintailah mereka di dunia dan akherat, dan apa yang terjadi padamu karena itu aalah menjadi tanggunganku.

Bisa dilihat di Syarah Nahjul Balaghah jilid 4 hal 84.

Begitu juga Majlisi yang biasanya bersikap keras terhadap sahabat Nabi terpaksa mengatakan: ketika Abubakar melihat kemarahan Fatimah dia mengatakan: aku tidak mengingkari keutamaanmu dan kedekatanmu pada Rasulullah SAW, aku melarangmu mengambil tanah fadak hanya karena melaksanakan perintah Rasulullah, sungguh Allah menjadi saksi bahwa aku mendengar Rasulullah bersabda: kami para Nabi tidak mewarisi, kami hanya meninggalkan Al Qur’an, hikmah dan ilmu, aku memutuskan ini dengan kesepakatan kaum muslimin dan bukan keputusanku sendiri, jika kamu menginginkan harta maka ambillah hartaku sesukamu karena kamu adalah kesayangan ayahmu dan ibu yang baik bagi anak-anakmu, tidak ada yang bisa mengingkari keutamaanmu. Bisa dilihat dalam kitab Haqqul Yaqin, hal 201-202.

Ibnul Maitsam dalam Syarah Nahjul Balaghah meriwayatkan kisah berikut:

Abubakar mengatakan pada Fatimah: kamu akan mendapat bagian seperti ayahmu, Rasulullah SAW mengambil dari Fadak untuk kehidupan sehari-hari, dan membagikan lainnya serta mengambil untuk bekal berjihad, aku akan berbuat seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, Fatimah pun rela akan hal itu dan berjanji akan menerimanya.
Syarah Nahjul Balaghah, Ibnul Maitsam Al Bahrani jilid 5 hal 107, Cet. Teheran

Sama seperti yang diriwayatkan oleh Ibnul Maitsam, Al Danbali dan Ibnu Abil Hadid:

Bahwa Abubakar mengambil hasil Fadak dan menyerahkannya pada ahlul bait secukup kehidupan mereka, begitu juga Umar, Utsman dan Ali
.
Bisa dilihat di kitab Syarah Nahjul Balaghah karangan Ibnu Maitsam dan Ibnu Abil Hadid, juga Durah An Najafiyah hal 332.

Ternyata imam maksum mengakui keputusan Abubakar dalam amsalah fadak, walaupun demikian syi’ah tetap saja menangisi Fatimah yang konon dizhalimi oleh Abubakar. Tetapi yang aneh, imam Ali -yang konon maksum- bukannya ikut membantu Fatimah merebut harta miliknya tetapi malah menyetujui keputusan Abubakar.

Keputusan Abubakar yang dianggap syi’ah sebagai keputusan yang keliru dan kezhaliman malah didukung oleh imam maksum. Berarti imam maksum ikut berperan serta menzhalimi Fatimah. Tetapi syi’ah tidak pernah marah pada imam maksum, yang dijadikan objek kemarahan hanyalah Abubakar.

Abubakar benar dalam keputusannya, dengan bukti dukungan imam maksum atas keputusannya itu. Jika imam maksum melakukan kesalahan maka dia tidak maksum lagi.

Tetapi -seperti biasanya- kenyataan ini ditutup rapat-rapat oleh syi'ah, sehingga barangkali anda hanya bisa menemukannya di situs ini. Syi'ah selalu menuduh Bani Umayah memalsukan sejarah, padahal syi'ah selalu mengikuti jejak mereka yang dituduh memalsu sejarah.

Label: , , ,


Read more!
 

Imam Maksum Bertaklid Buta pada Umar bin Khattab

Ternyata Imam Ali yang maksum -bersih dari dosa- bertaklid buta pada Umar bin Khattab, sebuah kenyataan yang benar-benar menari.

Bulan Ramadhan telah tiba, kaum muslimin menyambutnya dengan gembira, nampak perubahan yang nyata di sekitar kita –masyarakat muslim Indonesia-, masjid-masjid yang biasanya melompong jadi penuh saat shalat tarawih –walau akhirnya kosong lagi setelah Ramadhan-, ini semua karena menyambut Ramadhan yang mulia. Kaum muslimin dari Maroko sampai Merauke –sampai ke negeri matahari terbit, bahkan sampai ke Amerika dan Eropa- melakukan shalat tarawih di malam-malam bulan Ramadhan, mengharapkan keridhaan Allah dan menggunakan kesempatan bulan Ramadhan untuk memperbanyak amal shaleh.

Tetapi ada sebagian mereka yang mengaku muslim, mereka tidak nampak bergembira di bulan Ramadhan. Mereka tidak pergi ke masjid untuk melakukan shalat tarawih, menghabiskan malamnya dengan ngobrol dan beraktivitas di rumah masing-masing. Ketika ditanya, mereka menjawab demikian: shalat tarawih itu buatan Umar bin Khattab, bukan ajaran dari Nabi, lihat saja di Shahih Bukhari, kitab shahih kalian sendiri. Mereka menghujat Umar bin Khattab, mengatakan bahwa kaum muslimin mengikuti ajaran Umar bin Khattab bukannya ajaran Nabi Muhammad. Inilah jawaban mereka. Siapa mereka? Mereka adalah umat syiah, yang katanya mengikuti ahlulbait –keluarga Nabi-.
Intinya mereka menolak shalat tarawih karena merasa bahwa orang pertama yang memulai shalat tarawih adalah Umar bin Khattab, sang pemusnah imperium persia raya –yang sedang dibangun lagi pada hari-hari ini-.

Tetapi setelah diteliti lagi dalam kitab-kitab literatur syiah, ternyata kita temukan riwayat-riwayat dari para Imam yang merupakan keluarga Nabi memerintahkan untuk shalat tarawih.

Pertanyaannya, apakah mereka tidak pernah membaca riwayat mereka sendiri? Ini pertanyaan yang mengherankan, tetapi jika kita lihat realita mereka, akhirnya kita bisa memahami, kebanyakan umat syiah di Indonesia orang intelek –akademisi- tapi mereka miskin dalam ilmu syar'i, akhirnya terperangkap dalam ajaran yang memisahkan diri dari ajaran Islam yang dianut turun temurun sejak jaman Nabi hingga hari ini. Apakah di antara mereka tidak ada ustadz yang belajar agama sehingga bisa mengakses kitab-kitab literatur induk dan menyampaikan isinya?

Mari kita simak beberapa riwayat:

Dari Abul Abbas dan Ubaid bin Zurarah dari Abu Abdillah Alaihissalam mengatakan: Rasulullah SAAW menambah rakaat shalatnya di bulan Ramadhan, setelah shalat atamah (shalat isya') beliau shalat lagi, orang-orang shalat di belakangnya, lalu beliau masuk ke rumahnya dan membiarkan orang-orang shalat di masjid. Lalu beliau keluar lagi ke masjid dan shalat lagi, orang-orang pun berdatangan dan shalat di belakangnya. Rasulullah SAAW selalu masuk dan meninggalkan mereka. Rasulullah SAAW (atau Imam Al Baqir) mengatakan: jangan shalat setelah isya' kecuali di bulan Ramadhan.

Tahdzibul Ahkam jilid 3 Bab Keutamaan bulan Ramadhan dan Shalat sunnah lebih dari shalat sunnah yang biasa dikerjakan bulan-bulan lain.

Artinya, Rasulullah selalu shalat tarawih setelah isya di bulan Ramadhan, ketika para shabat berdatangan untuk shalat di belakangnya, Rasulullah pun masuk, begitu berulang kali. Beliau juga bersabda: jangan shalat sunnah setelah isya kecuali di bulan ramadhan. Maksudnya bukan larangan shalat sunnah rawatib, tetapi shalat seperti shalat tarawih di bulan ramadhan.

Riwayat yang mirip juga disebutkan dalam Kitab Al Kafi jilid 4 dan kitab Wasa'ilus Syi'ah jilid 8. Juga dikuatkan dalam kitab Jawahirul Kalam fi syarhi syara'i Al Islam jilid 13 hal 140-141. Juga dalam kitab Ghana'imul Ayyam fi Masa'il Al Halal wal Haram karya Abul Qasim Al Qummi jilid 3 hal 110-113.

Juga disebutkan dalam sebuah riwayat dari Imam Ja'far As Shadiq: ketika Amirul Mukminin –Ali- tiba di kota Kufah, beliau memerintahkan Hasan bin Ali untuk mengumumkan: Tidak ada shalat jamaah di masjid pada bulan ramadhan, lalu Hasan pun mengumumkan di tengah masyarakat, mendengar pengumuman itu masyarakat berteriak: Duhai ajaran Umar, duhai Ajaran Umar, Hasan pun kembali menghadap Ali, Ali bertanya: Suara apa itu? Hasan menjawab: Wahai Amirul Mukminin, orang-orang berteriak: Duhai ajaran Umar, duhai ajaran Umar, lalu Amirul Mukminin mengatakan: Shalatlah.

Lihat Tahdzibul Ahkam, jilid 3, juga wasa'ilus Syi'ah jilid 8 hal 17-48 Bab Keutamaan bulan Ramadhan dan Shalat sunnah lebih dari shalat sunnah yang biasa dikerjakan bulan2 lain. Begitu juga hadits ini dikuatkan dalam kitab Hada'iq Nazhirah fi Ahkam Al Itrah At Thahirah, karya Yusuf Al Bahrani jilid 10 hal 520-522.

Kita lihat di Amirul Mukminin memerintahkan untuk shalat sunnah berjamaah setelah isya di bulan Ramadhan. Padahal kita tahu bahwa imam Ali adalah maksum –diyakini oleh ummat syiah terpelihara dari kesalahan- seperti kita bahas pada makalah sebelumnya. Silahkan melihat kembali makalah itu di situs ini.

Ali memerintahkan untuk shalat tarawih, mengapa perintah Ali dianggap sebagai bid'ah?

Jika kita melihat jawaban yang muncul dari umat syiah bahwa shalat tarawih adalah buatan Umar bin Khattab, ternyata riwayat-riwayat di atas sesuai dengan ajaran Umar bin Khattab. Ini bisa berarti dua hal, yang pertama, ajaran Umar bin Khattab sesuai dengan ajaran Nabi dan 12 imam maksum, atau para Imam syiah menggunakan ajaran dari Umar bin Khattab.

Lagipula jika umat syiah masih menganggap shalat tarawih sebagai bid'ah, mengapa para imam syiah menyetujui bid'ah –bahkan mendukungnya- dan tidak menumpasnya? Padahal dalam kitab syiah ada sebuah riwayat:

Dari Muhamamd bin Jumhur Al Ammi, Rasulullah SAAW bersabda: Jika bid'ah telah tampak pada ummatku, maka orang berilmu harus menunjukkan ilmunya, jika tidak maka dia akan dilaknat oleh Allah. Lihat dalam kitab Al Mahasin jilid 1 hal 176 – 231, juga Al Kafi jilid 1.

Juga riwayat berikut:

Dari Abu Abdillah, dari ayahnya dan kakeknya: bahwa Ali mengatakan: orang berilmu yang menyembunyikan ilmunya akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan berbau busuk, dilaknat oleh setiap binatang di bumi, sampai binatang kecil pun melaknatnya. Al Mahasin jilid 2 hal 177-231.

Imam yang maksum bukannya melarang tersebarnya bid'ah tapi malah menggalakkan dan menyetujui bid'ah, apakah Ali akan dibangkitkan dalam keadaan berbau busuk di hari kiamat? Atau dia akan terkena laknat Allah dan binatang–binatang kecil?

Label: , , ,


Read more!

Kamis, April 09, 2009

 

MENGAPA KITA MENOLAK DEMOKRASI? (bagian 3)

لمذا نرفض الديمقراطية

(Bagian 3)

Diringkas dan disarikan dari Mushtholahât wa Mafâhîm karya Syaikh ‘Abdul Âkhir Hammâd al-Ghunaimî hafizhahullâhu

Ketiga : Kesetaraan (al-Musâwâh)

Termasuk perkara yang sudah ma’rûf di dalam sistem demokrasi barat adalah, warga satu negara memiliki hak dan kewajiban yang sama, tanpa ada perbedaan antara orang yang satu dengan lainnya oleh sebab warna kulit, suku ataupun aqidah. Hal inilah yang bertentangan dengan Islam, sebab Islam adalah agama yang adil secara mutlak, tidak menganggap semua manusia itu setara dan sama secara total dan mutlak. Ada banyak hukum-hukum yang bersifat qoth’î (pasti) di dalam Islam yang tidak menyamakan antara muslim dengan non muslim. Alloh Ta’âlâ berfirman :

“Maka apakah patut kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)”? (QS al-Qolâm : 35)

Ayat ini tidak khusus membicarakan perkara akhirat sebagaimana yang difahami oleh sebagian orang. Namun, sesungguhnya ayat ini –walaupun siyâq (konteks) permbicaraannya mengenai akhirat- namun lafazhnya umum, yaitu Alloh tidak menjadikan kaum muslimin itu seperti kaum mujrimîn (pendosa) baik di dunia maupun di akhirat. Masih banyak hukum-hukum yang menyatakan ketidaksamaan antara kaum muslimin dengan non muslim. Tidakkah Anda mengetahui bahwa seorang muslim pria boleh menikahi wanita ahli kitab sementara pria ahli kitab tidak boleh menikahi wanita muslimah. Di dalam hadits yang shahih dikatakan, “seorang muslim tidak boleh dibunuh oleh sebab seorang kafir” (HR Bukhârî : 111, at-Turmudzî : 1412, an-Nasâ`î VIII:23, dan Ibnu Mâjah : 2658 dari ‘Alî secara marfû’).

Saya akan berikan satu contoh di sini yang berkaitan dengan masalah yang sedang kita diskusikan. Yaitu, di dalam sistem demokrasi, setiap warga negara berhak untuk mencalonkan diri menjadi presiden selama memenuhi beberapa persyaratan, dimana agama tidak termasuk persyaratan tersebut. Di Mesir, Undang-Undang pasal 30 menyatakan, bahwa “persyaratan orang yang mencalonkan diri di dalam pemilu sebagai presiden, haruslah berkewarganegaraan Mesir dan berasal dari kedua orang tua yang juga dari Mesir”. Tidak ada persyaratan dia haruslah seorang yang beragama Islam. Berdasarkan pasal tersebut, bisa jadi seorang Yahudi atau Nasrani terpilih menjadi presiden Mesir, selama kedua orang tuanya adalah berasal dari Mesir. Senegal, pernah dipimpin oleh seorang Nasrani, (Leopold Sedar) Senghor (سنجور), padahal Senegal adalah negeri Islam. Kaum muslimin di Eritria dipimpin oleh seorang Nasrani, Isaias Afewerki ( أفورقي أسياسي). Dan semua hal ini berada di bawah slogan demokrasi.

Adapun di dalam sistem Islam, suatu hal yang sudah kita ketahui bersama dan tidak perlu lagi dijelaskan, bahwa tidak boleh negeri Islam dipimpin oleh non muslim. Dalil-dalil syar’î tentang hal ini begitu jelasnya. Alloh Ta’âlâ berfirman :

“Taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS an-Nisâ` : 59)

Yang dimaksud dengan Ulil Amri haruslah dari kalangan kita sendiri, yaitu kaum muslimin. Bahkan sudah merupakan suatu ijmâ’ (kesepakatan) ummat tentang hal ini, dan kami tidak mengira ada seorangpun yang memperdebatkannya. Sayangnya, kami temukan masih ada saja orang yang memperdebatkan masalah ini. Yaitu al-Ustâdz Fahmî Huwaidî dalam artikel dan tulisan lainnya yang dipublikasikan sekitar dua atau tiga tahun yang lalu.

Alasan kami menolak demokrasi pada bentuk asalnya, adalah oleh sebab demokrasi tidak menganggap perbedaan agama dan menyamakan semuanya pada seluruh aspeknya. Terlebih lagi, kita dapati di dalam sistem demokrasi kita yang pincang ini, tanpa pandang bulu memperbolehkan semua orang untuk mendirikan partai kecuali partai Islam. Kita dapati, banyak penulis sekuler dan demokrasi menyokong hal ini, bahkan mereka menyerukan untuk lebih bersikap represif terhadap aktivis muslim.

Wahîd Ra`afat–ketika dia masih menjabat sebagai wakil ketua partai Wafd, dan partai Wafd ini adalah partai tertua yang berideologi demokrasi sekuler di Mesir- pernah berkata : “Sesungguhnya keselamatan umat itu tergantung pada konstitusinya”. Tokoh-tokoh mereka, berdalih dengan ucapan tersebut untuk melegalkan perbuatan mereka di dalam melakukan tindakan represif terhadap gerakan Islam di Mesir, walaupun nash-nash syari’at dan ijmâ’ ulama baik salaf (terdahulu) maupun kholaf (kontemporer) menyelisihi konstitusi atau undang-undang mereka. Mudah-mudahan hal ini bisa menafsirkan apa yang dikatakan oleh pendahulu mereka bahwa demokrasi yang mereka adopsi ini memiliki ‘taring’.

Keempat : Kebebasan (al-Hurriyât)

Ini adalah poin terakhir yang akan kami diskusikan berkenaan dengan hukum demokrasi di dalam Islam. Kami melihat bahwa demokrasi barat membuka kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat, bahkan hampir-hampir tak terkendalikan. Tidak diragukan lagi bahwa Islam adalah agama ‘kebebasan’ dalam maknanya yang shahih, yang meletakkan kontrol secara optimal di dalam pelaksanaan kebebasan tersebut. Inilah hal yang tidak diridhai oleh aktivis pro demokrasi.

Saya berikan satu contoh di sini, yaitu kebebasan dalam berkeyakinan di dalam sistem demokrasi, bahwa seseorang berhak untuk memperoleh kebebasan dalam berkeyakinan, dan berhak untuk merubah aqidahnya dan menanggalkan agamanya kepada agama baru atau kepada atheisme (tidak beragama). Adapun kebebasan berkeyakinan di dalam Islam berbeda bentuknya. Seorang Nasrani contohnya, diperbolehkan untuk menetap di negeri Islam dan ia tetap boleh berpegang dengan agamanya dalam keadaan dilindungi jiwa dan hartanya, dengan syarat ia mau untuk memenuhi kewajiban undang-undang Islami yang menaunginya.

Adapun seorang muslim, tidak boleh dia merubah agamanya kemudian murtad menjadi seorang Nasrani –misalnya- dengan slogan kebebasan berkeyakinan. Barang siapa melakukan hal ini, maka hukumnya telah ma’rûf di dalam syariat, yaitu ia diminta untuk bertaubat atau diberi hukuman mati. Kami dapati ada seorang penyeru sekulerisme di Mesir, menyerukan untuk melakukan tindakan revolusioner (pemberontakan) hanya karena permasalahan ini –yaitu permasalahan riddah (kemurtadan)-. Mereka beranggapan bahwa hal ini merupakan bentuk pengekangan terhadap kebebasan, sampai-sampai salah seorang dari mereka (yaitu ‘Abdus Sattar ath-Thawîlah, penulis haluan kiri di dalam bukunya “Umarâ` wal Irhâb” hal. 34) menganggap permasalahan untuk merubah agama wajib untuk disamaratakan bagi seluruh rakyat dan menolak hak bagi kaum Qibthî (kristen koptik) untuk mengganti keyakinannya sedangkan di sisi lain menolak hak ini bagi muslim. Dia berkata :

“Saya telah bertanya kepada al-‘Âlim al-Jalîl (seorang yang alim lagi mulia), DR. Farhûd, mantan Rektor Universitas al-Azhar: Wahai Syaikh, mengapa Anda menuntut untuk mengeksekusi kaum muslimin yang merubah agamanya dengan alasan apapun? Beliau menjawab : Karena jika seseorang telah memilih Islam sebagai agamanya, maka dia layak untuk diberikan sanksi apabila ia meninggalkannya. Saya berkata : barangsiapa mengatakan bahwa 90% kaum muslimin telah memilih untuk menjadi muslim, maka kami tidak menjadi kafir sampai kami masuk ke dalam Islam. Ketika kami dilahirkan, telah kami dapati bahwa diri kami ini telah menjadi muslim dengan akta kelahiran orang tua kami, demikian pula dengan orang kristen dan yahudi. Apabila Anda beranggapan bahwa saya berhak untuk menjadi seorang muslim, lantas kenapa Anda tidak memperbolehkan seorang manusia untuk memilih selain Islam? (Ibid, hal. 34-35).

Kebatilan yang diucapkan oleh penulis ini dan orang semisalnya, disebabkan karena ia sudah sering meneguk pemahaman yang kacau balau. Dia tidak memahami agama kecuali hanya sekedar hubungan antara seorang hamba dengan tuhannya, sehingga seseorang berhak memilih gambaran tuhannya semaunya. Kemudian ia memahami kebebasan secara mutlak, setidak-tidaknya di dalam masalah keyakinan. Ia membangun di atas asumsi kebebasan mutlak ini, bahwa setiap orang berhak untuk merubah pilihannya kapan saja dia mau dan tidaklah boleh seorangpun mengekang hak pilihnya ini. Apalagi pemahaman mereka tentang kesetaraan (al-Musâwah) diantara agama-agama dan keyakinan, yang menganggap tidak ada bedanya antara agama yang haq dengan agama-agama bathil yang tidak diridhai oleh Alloh Azza wa Jalla. Ini hanyalah satu contoh saja tentang perbedaan antara Islam dan demokrasi di dalam memandang kebebasan. Contoh selain ini masih banyak lagi.

Inilah diskusi singkat kami tentang alasan kami menolak demokrasi dengan penjelasan hakikat dan keadaannya yang kami ketahui. Perlu kami utarakan di sini, bahwa keempat hal di atas yang kami tolak dari sistem demokrasi, tidaklah otomatis pada tingkatan yang sama dan harus ada pada bentuk-bentuk demokrasi lainnya. Perlu juga kami jelaskan di sini, bahwa ketika kami menolak sistem demokrasi ini, bukanlah ini artinya kami menerima sistem diktatorisme, dan tidak pula sistem sosialisme komunisme. Kami tegaskan : kami tidak mau sistem ini dan itu, yang kami kehendaki hanyalah asy-Syûrâ al-Islâmiyah, yaitu sistem Islâm. Dan demokrasi itu tidaklah sama dengan syûrâ Islam.

-Selesai ringkasan ini dan apabila ada waktu luang akan bersambung pada bab selanjutnya yang masih berkaitan dengan demokrasi-

from → Aqidah & Manhaj, Bantahan, Ghazwul Fikri, Siyasah

Label: , ,


Read more!

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Berlangganan Postingan [Atom]